KRISIS CALON PEMIMPIN DARI INTERNAL KADER PARTAI POLITIK


Oleh: JAMIL, S.H., M.H.
(Dosen FH Ubhara dan Pengurus Wilayah NU LPBH Jawa Timur)

JATIM, Lingkarjatim.com – Hiruk pikuk kontestasi pilkada yang akan berlangsung pada tahun 2018 sudah mulai meramaikan pemberitaan diberbagai media. Figur-figur potensial pun juga sudah mulai bermunculkan yang menambah semaraknya pelaksanaan pesta demokrasi pada tahun 2018 mendatang. Diantara figur-figur potensial tersebut adalah Drs. H. Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Hj. Khofifah Indar Parawansah, Prof. Dr. Mahfud MD, Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas, Supriyatno, Halim Iskandar, Hasan Aminuddin, Zainuddin Amali dan masih banyak lagi figur-figur parpol maupun non parpol yang terus mewarnai pemberitaan media untuk menjadi kandidat Gubernur maupun Wakli Gubernur Jawa Timur.

Namun demikian dari beberapa nama tersebut diatas, figur yang sudah mendakati kepastian untuk dicalonkan sebagai Gubernur Jawa Timur adalah Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansah. Kedua kandidat terkuat tersebut, merupakan figur dari luar partai politik meskipun keduanya pernah aktif di Partai Politik yang sama yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hal ini nampaknya akan mengulangi apa yang sudah terjadi pada Pilkada DKI Jakarta yang sempat membuat heboh seluruh Nusantara dimana calon Gubernur dari kedua pasang kandidat bukan orang partai politik.

Minimnya kader dari internal partai politik untuk menjadi kandidat kuat dalam setiap kontestasi pemilihan calon pemimpin dinegeri ini, merupakan bukti nyata kegagalan partai politik dalam melakukan proses pengkaderan pada setiap kadernya malalui pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai politik. Hal ini sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 11 UU. No. 2/2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol) yang mengatakan: “Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.

Senada dengan fungsi partai politik dalam UU Parpol diatas, Abdul Mukthie Fajar, (2012) Juga membagi fungsi partai politik menjadi 4 fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik.

Minimnya kader internal sebagai calon pemimpin dalam setiap kontestasi pemilihan membuktikan bahwa pendidikan dan sosialisasi politik yang diamanahkan oleh UU Parpol tidak dijalankan secara serius oleh partai politik. Partai politik tidak mampu mendidik dan menyiapkan kadernya untuk menjadi calon pemimpin dengan kemampuan dan integritas yang dapat diandalkan.

Sistem Pemilihan Terbanyak dan Kegagalan Pengkaderan

Salah satu penyebab dari keengganan partai politik dalam melakukan pendidikan politik pada kadernya secara serius adalah dicabutnya kewenangan partai politik oleh Mahkamah Konstitusi melalu putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dalam menentukan kadernya menjadi anggota legislative melalui sistem nomor urut paling kecil sebagaimana tercantum dalam Pasal 214 UU. No 10/2008.

Meskipun putusan tersebut hanyalah menyangkut pemilihan anggota legislative, namun putusan tersebut ternyata tidak hanya berimbas pada pemilihan anggota legisaltive ansich. Dengan adanya putusan MK tersebut, fungsi partai politik sebagaimana telah dijelaskan diatas, sulit ditemukan dalam peran partai politik saat ini, partai politik tak ubahnya hanyalah sebagai lembaga makelar calon pemimpin yang harus pintar-pintar memanfaatkan event pemilihan sebagai kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar atau berfungsi sebagai kendaraan yang dapat menghantarkan orang-orang berduit menuju kursi kekuasaan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada pemilihan calon anggota legislative tetapi disemua event pemilihan tak terkecuali pada pemilihan kepala daerah. Prilaku pragmatis dan komirsil dari setiap partai politik sudah menjadi pemandangan lumrah dalam setiap event pemilihan sehingga bukan barang aneh manakala kader internal parpol tak lagi menjadi prioritas dalam pencalonan di setiap event pemilihan. Partai politik dituntut untuk bersikap realistis dalam melihat berbagai kandidat diberbagai daerah. Jika ada kandidat yang dirasa lebih menguntungkan masa depan partai politik baik dari segi ekonomi maupun politik kendati dia bukan berasal dari internal kader partai politik, maka parpol tersebut pasti akan memilih kendidat tersebut dan menegasikan potensi kadernya.

Pendidikan dan Sosialisasi Politik

Pada dasarnya pendidikan dan sosialisasi politik tidak hanya menjadi tanggung jawab Partai Politik. Disamping partai politik lembaga lain yang ikut diberi amanah untuk memberikan pendidikan dan sosialisasi politik adalah Komisi PemilihanUmum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) sebagai unsur dari kementerian dalam negeri.

Namun demikian, perundang-undangan tidak mengatur secara jelas dan tegas mekanisme penyelenggaraan pendidikan dan sosialisasi politik serta tidak ada aturan yang memberi peran spsesifik atas pelaksanaan pendidikan dan sosialisasi politik yang diselenggarakan oleh masing-masing ketiga lembaga tersebut. Akibatnya pelaksanaan pendidikan dan sosialisasi politik dilapangan masih asal-asalan dan cendrung hanya menghabiskan anggaran saja tanpa hasil (output) yang jelas. Hemat saya, seharusnya terdapat spesifikasi atas pelaksanaan pendidikan dan sosialisasi politik atas masing-masing dari ketiga lembaga negara diatas. KPU memberikan pendidikan dan sosialisasi politik pada pemilih selain mengenahi mekanisme pemilihan yang benar juga mengenahi peran pemilih dalam pemilihan serta akibat yang akan ditanggung atas kesalahan dalam memilih pemimpin. Bakesbangpol memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar tidak terpecah belah dalam pemilihan sekalipun berbeda pilihan. Sedangkan pendidikan politik yang dilaksanakan oleh Partai Politik, adalah pendidikan politik yang diberikan hanya pada kader partai politik guna menyiapkan calon pemimpin yang mempunyai kompetensi dan integritas tinggi dan kader yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi kemudian disosialisasikan oleh partai politik kepada masyarakat sehingga masyarakat pemilih akan lebih mengenal calonnya karena sudah disosialisasikan jauh-jauh sebelum masa kampanye dilarang dan/atau dibuka.

Dengan adanya aturan yang jelas atas pelaksanaan pendidikan dan sosialisasi politik, kemudian disertai dengan ancaman sanksi adminsitratif bagi yang tidak melaksanakan pendidikan dan sosialisasi politik Insa Allah akan menjadi salah satu solusi atas krisis kepemimpinan yang dilakukan oleh partai politik dinegeri ini.

 

 

Leave a Comment