Jokowi: Menteri dan Kepala Daerah Tak Bisa Lagi Kerja Sekadar Rutinitas

JAKARTA, LingkarJatim.com- Presiden Joko Widodo mendorong menteri dan kepala daerah untuk tidak hanya bekerja rutin dan standar, tetapi harus detail.

Menurut Presiden, langkah itu diperlukan karena situasi dunia saat ini pada posisi yang tidak mudah akibat dampak pandemi Covid-19 ditambah perang di Ukraina yang menyebabkan krisis pangan, energi, dan keuangan global.

“Para menteri, gubernur, bupati, wali kota juga sama, enggak bisa lagi kita bekerja rutinitas. Enggak. Enggak bisa kita bekerja hanya melihat makronya saja. Enggak akan jalan, percaya saya”, ucap Jokowi, Kamis (18/7/2022). Seperti yang telah sebelumnya di tulis di Media Kompas.com.

“Makro dilihat, mikro dilihat, lebih lagi harus detail juga dilihat lewat angka-angka dan data-data. Karena memang keadaannya tidak normal”, lanjutnya menegaskan.

Tak hanya itu, Jokowi juga mengatakan, bahwa situasi global yang tidak pasti tersebut juga mendorong terjadinya inflasi yang saat ini menjadi momok di semua negara, sehingga menurutnya, inflasi Indonesia per Juli 2022 berada pada angka 4,94 persen (year on year).

Adanya angka tersebut, kata Jokowi, masih lebih baik dibandingkan beberapa negara lain seperti Turkiye yang inflasinya mencapai 79 persen, Uni Eropa 8,9 persen, atau Amerika Serikat yang mencapai 8,5 persen.

Meskipun demikian, mantan gubernur DKI Jakarta ini meyakini, jika seluruh kepala daerah dapat bekerja sama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) maupun Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP), pemerintah akan mampu mengendalikan inflasi hingga di bawah angka 3 persen.

Presiden juga meminta para kepala daerah bisa mengecek apa yang menjadi penyebab inflasi di daerahnya.

“Saya ingin bupati, wali kota, gubernur betul-betul mau bekerja sama dengan tim TPID di daerah dan Tim Pengendali Inflasi Pusat. Tanyakan di daerah kita apa yang harganya naik yang menyebabkan inflasi”, imbuhnya dengan penuh penegasan.

Tidak hanya itu, orang nomor satu itu pun akan meminta Menteri Keuangan untuk menghitung kemampuan APBN pemerintah dalam melanjutkan subsidi tersebut.

“Pertalite, Pertamax, solar, elpiji, listrik itu bukan harga yang sebenarnya, bukan harga keekonomian, itu harga yang disubsidi oleh pemerintah yang besarnya itu hitung-hitungan kita di tahun ini subsidinya Rp 502 triliun, angkanya gede sekali”, lanjutnya.

Terkait harga pangan, Presiden mengajak semua pihak untuk bersyukur karena harga pangan terutama beras di Indonesia masih bisa dikendalikan dan berada pada harga sekitar Rp 10.000, sehingga harga tersebut jauh lebih murah jika dibandingkan harga beras di sejumlah negara, misalnya di Jepang Rp 66.000, di Korea Selatan Rp 54.000, di Amerika Serikat Rp 53.000 dan di China Rp 26.000.

Leave a Comment