PUNCAK DARI KEKUASAAN ADALAH KETIDAK ADAAN KEKUASAAN ITU SENDIRI

(Sejarah Keruntuhan Singhasari dan Sandi Perang Pring Ijo Godong Songo)
Oleh. Achmad Junaidi

Ketika Kerajaan Singhasari yang besar dan terkenal tangguh, Rajanya kuat-sakti mandraguna hingga tak terkalahkan bahkan oleh Bangsa Tartar sekalipun ternyata tumbang dikalahkan oleh Kerajaan Gelang-gelang dari Kediri, maka sang putra mahkota keluar dari lingkungan istana Tumapel dengan segenap kekuatan yang masih ada.

Empat bulan lamanya ia mengatur startegi dilereng gunung Penanggungan sambil sesekali berkomunikasi dengan para loyalisnya yang untuk sementara berpencar membaca situwasi dan mengatur startegi.


Dari para lolayis inilah kemudian terlihat siapa saja diantara orang dekatnya yang memang nyata berhianat diinternal lingkungan istana hingga para patih yang terlihat sumringah karena ada restrukturisasi jabatan. Sebagian lagi mengambil aman agar mereka bisa tetap menjadi bagian dari istana.

Ditengah amarahnya yang memuncak akibat perangai dan sikap para lolayisnya yang dulu ia banggakan ternayata berpaling arah, tiba-tiba sang pangeran dikejutkan dengan kedatangan dua orang berbaju serba putih, yang satu memperkenalkan dirinya sebagai Empu Anubaya dan satunya lagi menyebutkan dirinya sebagai Resi Sumitra. Sejenak sang pangeran yang masih berduka bertanya tujuan kedatangan mereka.

Resi sumitra menjelaskan bahwa kedatangannya tak lain untuk memberi kitab wejangan hidup sejatineng kuwasan, yang menurutnya kitab ini adalah kitab warisan para leluhur penguasa jawadwipa yang sengaja disiapkan untuk penerus tahta sebelum mereka memangku jabatan.

Dalam kitab ini dijelaskan Bahwa penguasa yang sesungguhnya adalah mereka yang tetap mau memperjuangkan rakyatnya justru ketika ia tidak dalam posisi memegang tampuk kekuasaan, Masih menurut Resi Sumitra beberapa Raja tanah Jawa dan Kerajaannya bisa menjadi besar karena mereka justru keluar kerajaan dan berada diluar istana. Singgasana mereka adalah gubuk dan rumah kumuh rakyat, taman dan altar mereka adalah jalan dan lorong sempit tempat rakyat berteduh Mengusap keringat, membasuh tangan dan kaki mereka karena kerasnya mencari penghidupan. “maka mengembaralah, hapuskan dukamu dan berhentilah meratap” imbuh Resi Sumitra.

Pring Ijo Godong Songo


Ditengah hati pangeran yang masih berkecamuk disertai rasa penasaran, Empu Anubaya mengeluarkan sebilah keris seraya berkata: pergilah ketimur dan keutara, mengembara dan hiduplah bersama rakyat jelata, keris ini akan membawamu kepulau sebrang, karena dari pulau sebrang inilah nanti Ananda akan mendapatkan kembali tahta kerajaan singashari.

Sementara Resi Sumitra membekali dua ruas bambu hijau dengan dua tangkai. Tangkai pertama berisi lima helai daun dan tangkai satunya berisi empat lembar daun yang hampir menguning. Resi Sumitra meminta pangeran mengisi dua bambu tersebut dengan air murni Gunung Penanggungan seraya berpesan agar bambu ini diikat dengan tali serta dijaga jangan sampai bambunya layu berubah warna. Karena ketika bambu ini sudah berubah warna apalagi daunya rontok sang pangeran dipastikan akan sulit bahkan tidak mungkin lagi bisa merebut tahta kerajaan.

Turunlah sang pangeran dari gunung penanggungan bersama 17 orang kepercayaanya dengan tujuan mengikuti saran kedua guru waskita empu Anubaya dan Resi Sumitra yakni hidup barbaur dengan masyatakat sekaligus menyusu kekuatan kembali dengan cara mengambil hati rakyat.

Sesampainya di perkampungan, tujuh belas kesatria yang terdiri dari lima belas laki-laki dan dua perempuan ini diminta untuk menyebar ke delapan belas titik dengan enam bagian wilayah distrik, maklum ketujuh belas kesatria ini adalah para perwira pilihan yang diseleksi dari hampir limaratus delapan puluhan prajurit pilihan.

Sedangkan sang pangeran berencana melanjutkan perjalanannya kepulau sebrang dengan petunjuk keris sesuai arahan Empu Anubaya dan Resi Sumitra. Namun sebelum mereka berpisah mereka menyepakati bahwa kalau nantinya mereka akan melakukan serangan kata sandi-nya adalah pring ijo godong songo (bambu Hijau dengan sembilan helai daun) karena sebagai mana arahan sang resi hanya dengan bambu inilah pangeran bisa merebut kembali tahta kerajaan.

Perjanjian Dengan Madura Rasa


Singkat cerita: Sesampainya sang pangeran di pulau seberang ia menemukan sebuah daerah yang cukup tandus, sulit air bahkan gersang. Banyak penduduk kelaparan karena tidak bisa bercocok tanam. Masyarakatnya banyak yang keluar pulau bahkan ke Negeri sebrang untuk mencukupi penghidupannya. Padahal pulau ini terkenal dengan masyarakatnya yang pemberani, ulet dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Sambil beristirahat sang pangeran meletakkan bambu disebelah kanan dimana ia merebahkan tubuhnya. Pangeran meletakkan Bambu itu tepat di rongga bebatuan cadas yang keras hingga ruas bagian bawah bambu hijau itu pecah menyebabkan air yang ada didalamnya keluar. Anehnya, air tersebut tak habis-habis bahkan begitu deras hingga membentuk genangan yang cukup besar.

Ditengah keheranan tersebut, sang pangeran juga di buat lebih kaget lagi dengan bertunasnya bambu hingga membentuk cabang-cabang baru dari dua ruas bambu yang yang ada. Jadilah umum dimasyarakatt pulau sebrang tersebut bahwa ada sumber mata air jernih yang keluar dari akar bambu di rongga-rongga batu cadas yang keras.

Berita inipun menyebar kepihak istana kerajaan Madura Rasa yang merupakan penguasa tunggal pulau sebrang. Dengan mengutus Maha patihnya untuk konfirmasi kebenaran cerita hingga mencari tahu siapa orang sakti yang bisa membuat mata air ditanah yang dikenal tandus tersebut.

Terjadilah dialog antara maha patih Madura Rasa dengan sang pangeran bahwa kalau kerajaan Madura Rasa ingin memanfaatkan Air ini maka ia harus membantunya merebut kerajaan singhasari yang sekarang telah di kuasai oleh raja Gelang-gelang dari Kediri. Maka dibuatlah kesepakatan diantara keduaya sekaligus mengatur strategi bagaimana cara mengirim pasukasan ke Jawa dengan keterbatasan armada dan kapal penyebrangan yang dimiliki Madura Rasa.

Maka ingatlah sang pangeran dengan bambu-bambunya yang mulai rimbun dan tumbuh pesat. Maka muncullah ide kalau bambu-bambu tersebut sebagian akan ditebang untuk di jadikan sampan dan sebagian lagi dijadikan senjata.

Namun setelah kesepakatan tersebut disampaikan kepada Raja Madura Rasa, tanpa diduga sang raja juga mengajukan persyaratan kepada putra mahkota singashari ini, bahwasanya Madura Rasa bersedia membantu mengirim bala tentaranya bahkan ia bersedia mengirim pasukan terbaiknya untuk berperang ke Singhasari dengan salah satu pilihan syarat. Sayat pertama kalau nanti menang dan pangeran bisa merebut kembali tahta kerajaan maka pangeran harus bersedia menikah dengan putrinya. Atau kalau tidak mau pangeran harus mau membagi dua wilayah kekuasaannya dengan madura rasa.

Dengan tanpa berfikir panjang sang pangeran mensetujui persyaratan yang diberikan oleh Raja Madura Rasa, Namun syarat yang mana yang akan ia pilih, pangeran akan memutuskannya nanti setelah ia memenangkan peperangan dan kembali ke lereng penanggunang untuk meminta masukan kepada Empu Anubaya dan Resi Sumitra.

Maka berangkatlah pangeran Singhasari ini dengan tujuh ratus lima puluh ribu pasukan dari Madura dengan mengendarai perahu bambu hijau berdaun sembilan. Jumlah pasukan sebanyak itu digabungkan dengan bala tentara loyalis di singahari yang masih setia dan sudah menunggu sekitar lima ratus ribu lebih pasukan. Karena untuk memenankan pertarungan ini sang Putra Mahkota harus memiliki pasukan satu juta lebih bala tentara pilihan karena Raja Gelang-gelang setidaknya sudah siap dengan dua juta lebih pasukan (bersambung)

*) Penulis Buku Gus Dur President Kyai Indonesia Dan Tahap Penerbitan Buku Ijtihad Politik Ulama

Leave a Comment