Membangun Karakter Pemuda Sejak Dini

Oleh: Munaji*

OPINI, Lingkarjatim.com – Di tengah hura-hara dan turbulensi politik nasional yang tidak menentu, serta maraknya sentimen kegamaan, kehadiran pemuda untuk mengambil peran sebagai oase di dalamnya sangat krusial. Sebab, pemuda adalah tonggak estafet kepemimpinan, penerus perjuangan serta pewaris peradaban yang kehadiran dan kiprahnya selalu dibutuhkan dan dirindukan untuk menyongsong masa depan Indonesia lebih baik.

Yusuf al-Qaradawi salah satu ilmuwan muslim asal Mesir mengatakan, jika ingin melihat kemajuan bangsa lihatlah pemudanya, indikator yang disampaikan oleh al-Qaradawi tersebut bukan tanpa alasan, sebab ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Syah Mustofa al-Ghalayin, dalam kitab Idhatun Nasyi’in yang banyak diajarkan di pesantren di Indonesia baik pesantren, salaf, modern, dan semi modern, pemuda sekarang adalah generasi masa depan dan hidup matinya umat tergantung pada pemuda.

Artinya sebagai regenerasi bangsa, pemuda harus memiliki dan mewarisi berbagai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar bisa survive menghadapi berbagai tantangan modernitas di era global yang semakin kompleks.

Keterlibatan pemuda secara aktif mengawal bangsa ini merupakan keharusan, terutama di tengah carut marut persoalan kebangsaan saat ini, baik persolan ekonomi, politik, budaya, pun persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin hari semakin menghawatirkan. Ditambah belakangan pemuda justru yang dianggap menjadi biang kerok konflik baik konflik laten maupun konflik manifes.

Perihal itu, bisa dibuktikan dengan keterlibatan pemuda dalam penggunaan narkoba, miras, perilaku asusila, tindakan kekerasan, persekusi, dan penyebar hoax yang lagi marak terjadi saat ini. Maka, bukan tanpa alasan jika publik menilai pemuda saat ini mulai kehilangan identitasnya yang dikenal sebagai agen of change, agen of social control, and man of analisis, pun memiliki kemurnian idealism, keberanian, semangat pengabdian, inovasi dan kreativitasnya.

Peroblem tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh banyak kalangan baik analis sosial, akademisi termasuk tokoh agama, penyebab yang sangat fundamental, karena pemuda saat ini sudah tidak memiliki karakter atau yang lebih akrab disebut dengan akhlakul karimah.
Akhlakul karimah atau moralitas menjadi sulit termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari pemuda saat ini.

Tak pelak, jika pembunuhan guru yang dilakukan oleh siswanya nyaris sering kita temukan. Sebut saja misalnya kasus tahun 2018 seorang siswa membunuh guru kesenian di SMA 1 Sampang Madura, hal tersebut salah satu contoh kecil bahwa perilaku pemuda benar-benar mulai kehilangan identitasnya.

Selain persoalan karakter, menurut hemat saya, ada empat persoalan mendasar yang dihadapi pemuda Indonesia secara komunal saat ini. Pertama, pola pikir, pemuda saat ini minus visioner dalam perspektif lain, kurang memiliki gagasan dan pandangan untuk membangun masa depan, minus itulah yang menjadikan pemuda bingung dipersimpangan jalan.
Sehingga kecenderungan yang banyak terjadi pragmatis, mereka lebih senang memilih kesenangan sesaat dari pada membangun mentalitas dan pola pikir yang dinamis dan progres untuk masa depannya.

Maka, sebagai jalan alternatif bagi mereka adalah sikap opurtunis, karena ada pola pikir pesimistis dalam menyikapi berbagai persoalan hidupnya.

Kedua, etos kerja, Indonesia sebenarnya dikenal salah satu negara yang memiliki etos kerja yang sangat luar biasa tetapi, secara subtansial kurang ditemukan pada pemuda saat ini etos kerja justru menjadi problem, sekali lagi kecenderungan untuk hidup senang-senang dan tidak mau susah sehingga kultur hedonisme dan komsumerisme sangat mengakar kuat pada pemuda saat ini, menjadi problem yang problematis.

Ketiga, produktifitas, pemuda Indonesia diakui atau tidak kurang produktif dan ini sering didengungkan oleh banyak kalangan, bahwa pemuda Indonesia kurang kreatif, sehingga dari tahun ketahun pemuda Indonesia lebih senang menjadi konsumen dari pada menjadi produsen dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemuda Indonesia secara komunal, apalagi menyikapi revolusi industri 4.0 yang mensyaratkan pemuda untuk bisa bersaing dengan pemuda negara-negara tetangga. Artinya pemuda yang selama ini lebih banyak menjadi konsumen harus berubah, terus menerus berusaha untuk menjadi produsen agar kekayaan negeri ini tidak dinikmati oleh negara tetangga.

Keempat, kedisiplinan, persoalan kedisiplinan sangat susah diatasi. Sebab, ini seakan sudah menjadi budaya yang dianggap bukan masalah, padahal kedisiplinan memiliki peran yang sangat urgen untuk diwujudkan. Kedisiplinan merupakan salah satu sikap yang sangat mendukung kesuksesan seseorang. Sebagaimana contoh faktual ketika ada acara, apapun nama acaranya hadir terlambat, hampir sering kita temukan dan ini terus menerus terjadi hingga saat ini, time is money yang mestinya menjadi dasar bertindak agar tak menyia-nyiakan waktu juga sulit termanifestasi. Inilah faktor-faktor mendasar yang harus dibenahi oleh generasi muda Indonesia.

Menyikapi berbagai persoalan tersebut, pada hakikatnya tidak lepas karena persoalan karakter sebab masalah pola pikir, etos kerja, produktifitas, dan kedisiplinan sangat bertali temali dengan terbangunnya karakter seorang pemuda. Seseorang yang tidak disiplin hampir bisa dipastikan ia tidak memiliki karakter dan prinsip hidup.

Maka, disinilah pembangunan karakter sejak dini itu dibutuhkan agar pemuda sebagai regenerasi kepemimpinan Indonesia tidak kehilangan jati dirinya. Pembangunan karakter sejak dini bisa dilakukan dengan adanya kerja sama antar orang tua, lembaga pendidikan, termasuk pemerintah, dan masyarakat secara komunal, mendukung penuh untuk ikut serta mengembangkan dan membangun pendidikan karakter.

Sebab, dengan demikian saya yakin empat persoalan tersebut bisa diatasi dengan baik. Sehingga pada akhirnya pemuda akan menemukan jati dirinya dan bisa terlibat aktif mengawal untuk membangun Indonesia lebih baik. Semoga!

*Kepala Sekolah MI Miftahul Ulum dan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Uinsa Surabaya

Leave a Comment