Ironi Di Balik Lancarnya Arus Mudik

foto : Anggota Komisi V DPR-RI-Mohammad-Nizar-Zahro

Oleh :
Moh. Nizar Zahro
Ketua Umum SATRIA
(Satuan Relawan Indonesia Raya)

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa arus mudik 2017 dapat berjalan lancar karena kinerja aparat pemerintahan yang sigap dalam menyiapkan dan mengawal jalannya arus mudik. Diantara yang dibanggakan adalah keberanian memfungsikan tol Brexit – Gringsing sehingga tidak terjadi kemacetan parah sebagaimana yang terjadi dalam arus mudik 2016.

Pernyataan Menteri Perhubungan diikuti luapan kegembiraan berlebihan dari pendukung fanatik Presiden Jokowi, yang diantaranya menorehkan pernyataan bernada provokatif yakni “baru di era Jokowi mudik dapat berjalan lancar”, kemudian juga disebar ucapan terima kasih Jokowi sebagai simbol untuk mempertegas bahwa kelancaran mudik ini benar-benar merupakan buah dari kerja keras pemerintahan Jokowi.

Namun pernyataan Menteri Perhubungan hanya didasari sepenggal fakta saja yaitu arus mudik yang berjalan lancar tanpa ada kemacetan yang berarti. Namun, fakta-fakta lainnya tidak dikemukakan sebagaimana mestinya. Padahal fakta-fakta tersebut sangat penting untuk membaca kondisi arus mudik secara keseluruhan, bahkan lebih dari itu bisa untuk memotret kondisi kesejahteraan rakyat di bawah pemerintahan Jokowi.

Sebetulnya, dari data-data di lapangan menunjukkan adanya angka penurunan pada arus mudik 2017, sebagaimana data dari Posko Mudik Kementerian Perhubungan, bahwa pada H-2 pemudik dengan kendaraan darat hanya berjumlah 1.173.010 pemudik, sementara tahun 2016 lalu pada hari yang sama jumlah pemudik angkutan darat mencapai 2.299.873, itu artinya ada penurunan 1.126.863 pemudik.

Selanjutnya, total pemudik yang melakukan penyeberangan tahun ini sebanyak 1.430.694, padahal tahun 2016 ada sekitar 1.788.629  penyeberangan. Pemudik yang menggunakan Kerata Api pada H-2 tahun 2016 ada sebanyak 1.621.937 dan tahun 2017 ini menurun dengan jumlah 1.291.923. Untuk angkutan laut tahun 2016 ada 494.91 angkutan, dan tahun 2017 hanya ada sekitar 453.516.

Memang data yang di atas baru bicara hingga H-2 lebaran, namun jika membaca pernyataan Direkur Utama Jasa Marga Desi Arryani yang menyatakan bahwa puncak arus mudik di Gerbang Tol Cikarang Utama terjadi pada H-4, maka data yang dilansir dari Posko Mudik Kementerian Perhubungan sudah cukup untuk dijadikan pijakan telah terjadi penurunan pemudik.

Bahkan, acara mudik gratis yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan juga kekurangan peminat. Mudik bareng dengan moda kereta api menyisakan bangku kosong sebanyak 1.000 bangku. Kondisi lebih parah terjadi pada mudik gratis dengan moda kapal laut, hanya terisi 60 persen dari kapasitas yang disediakan. KM Dobonsolo yang mampu mengangkut 1.250 sepeda motor, pada pemberangkatan 17 Juni 2017, dengan rute Tanjung Priok Jakarta – Tanjung Emas Semarang, hanya mengangkut 113 sepeda motor saja, sangat jauh dari harapan.

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak rakyat yang tahun lalu bisa merayakan lebaran di kampung halaman, tetapi tahun ini tidak bisa mudik. Melihat begitu banyaknya rakyat yang tidak bisa mudik mestinya menjadi perhatian pemerintah untuk mencari tahu apa penyebab rakyat tidak bisa mudik. Namun sayangnya pemerintah lebih bersemangat mengumumkan bahwa mudik berjalan lancar dan menjadikannya sebagai kampanye pencitraan.

Padahal bila diamati secara seksama akan dengan mudah didapat penyebab menurunnya jumlah pemudik. Indikator ke arah situ sudah disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani yang menyatakan bahwa hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat pada Lebaran tahun ini. Sehinnga penjualan berbagai produk jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produk batik, misalnya, mengalami penurunan hingga 20 persen, yang menurut para pengusaha batik, penurunan yang paling parah untuk pertama kalinya.

Dari pernyataan Ketua Apindo tersebut dapat ditarik benang merah bahwa telah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Fakta tersebut telah menjawab analisis yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif  Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati bahwa kenaikan TDL telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat dan juga telah mengerek angka inflasi hingga mencapai 0,69% pada Juni 2017. Jadi, kebijakan kenaikan TDL lah yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat yang kemudian berdampak terhadap menurunnya jumlah pemudik, yang kemudian menyebabkan arus mudik menjadi lancar sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah.

Selain kenaikan TDL, sebetulnya ada faktor lagi yang menyebabkan jumlah pemudik mengalami penurunan, yakni waktu mudik yang hampir berbarengan dengan tahun ajaran baru. Bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah tentu akan membutuhkan dana yang cukup untuk biaya anak sekolah. Jika daya belinya menurun maka akan dihadapkan pada dua pilihan yakni membiayai anak sekolah atau mudik. Dan sudah bisa dipastikan mayoritas orang tua akan mendahulukan pendidikan anak dibanding melakukan mudik.

Oleh karena itu, lancarnya arus mudik jangan lantas menjadikan pemerintah berbesar hati. Memang harus diakui juga, bahwa persiapan pemerintah, kerja aparat di lapangan, dan juga pembangunan infrastruktur, turut andil dalam memperlancar arus mudik 2017. Namun ada fakta bahwa terjadi penurunan jumlah pemudik juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Ironi di balik lancarnya arus mudik adalah daya beli masyarakat yang menurun karena dampak kenaikan TDL, sehingga bagi rakyat yang penghasilannya pas-pasan memilih untuk tidak mudik. Tugas pemerintah lah untuk segera memperbaiki daya beli masyarakat agar bisa segera pulih seperti sedia kala.(*)

Leave a Comment