IRONI ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA

Oleh : Moh. Nizar Zahro*

OPINI, Lingkarjatim.com – Salah satu indikator keberhasilan suatu pemerintahan adalah apabila mampu menghadirkan kemakmuran bagi rakyatnya. Kemakmuran terwujud jika angka kemiskinan semakin berkurang. Maka tidak heran jika rejim dimana pun selalu berlomba menekan angka kemiskinan.

Namun sayangnya, ada yang serius menurunkan jumlah orang kemiskinan, namun ada pula yang sekedar menurunkan “angka” kemiskinan. Kedua pola ini sangat berbeda sekali. Pola pertama memang bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin yakni dengan cara menghadirkan program ekonomi kerakyatan. Namun pola kedua hanya sekedar otak-atik angka kemiskinan tanpa menghadirkan pembangunan pro kerakyatan.

Untuk kasus Indonesia, mari amati seksama polanya. Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi, namun hanya sekedar memaparkan fakta-fakta. Biarlah para pembaca/rakyat Indonesia yang menyimpulkan sendiri.

Fakta pertama, BPS mengumumkan bahwa per Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia turun menjadi 25,95 juta orang atau setara dengan 9,82 persen. Pemerintah pun membanggakan diri sebagai pemecah rekor angka kemiskinan di bawah 1 digit.

Namun perlu digarisbawahi, batas kemiskinan yang dijadikan standar adalah Rp. 401.000 per kepala per bulan. Artinya jika ada rumah tangga yang terdiri dari suami, istri dan 2 anak, memiliki total penghasilan Rp. 1.600.000,- per bulan, maka tidak disebut sebagai orang miskin. *Silahkan hitung sendiri penghasilan Anda dan selanjutnya tentukan statusnya miskin atau tidak miskin?*

Fakta kedua, ternyata standar angka kemiskinan di Indonesia berbeda dengan Bank Dunia. Indonesia mematok Rp. 400.000 per bulan per kepala, sedangkan Bank Dunia mematok 1,9 Dollar Amerika per hari per kepala. Jika dikonversi ke dalam rupiah dengan nilai tukar Rp. 14.500, maka nilai USD 1,9 akan menjadi Rp. 27.550. Jika Rp. 27.550 dikali 30 hari akan menjadi Rp. 826.500. Semestinya angka Rp. 826.500,- yang menjadi standar kemiskinan di Indonesia, bukan Rp. 400.000 seperti yang saat ini dipakai BPS.

Pemerintah berdalih bahwa mengukur kemiskinan di Indonesia dengan menghitung pengeluaran untuk kebutuhan dasar makanan dalam takaran 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, sehingga didapatkan standar BPS yakni Rp. 400.000. *Sekarang tinggal rakyat, mau ikut standar Bank Dunia atau standar BPS?*

Fakta Ketiga, pemerintah bangga bahwa kemiskinan hanya berjumlah 25,95 juta orang. Tapi faktanya pemerintah sendirilah yang tidak mengakui angka itu. Buktinya, dalam BPJS Kesehatan, pemerintah telah memggelontorkan bantuan iuran untuk 92 juta orang, bahkan pemerintah menargetkan sampai 107 juta orang. Semestinya pemerintah hanya membantu iuran BPJS kepada orang miskin saja yang jumlahnya hanya 25,95 juta orang. Dengan mematok mematok angka 107 juta orang sebagai Peserta Bebas Iuran JKN-KIS, maka secara tidak langsung sejatinya pemerintah sendirilah yang menyatakan “angka kemiskinan” yang benar adalah 107 juta orang.

Sekarang saatnya rakyat yang menyimpulkan sendiri, *berapa sebetulnya jumlah orang miskin di Indonesia.*

*Ketua Umum SATRIA
(Satuan Relawan Indonesia Raya)

—————-

Leave a Comment