Menu

Mode Gelap

LINGKAR UTAMA · 21 May 2018 09:06 WIB ·

‘Vote Buying’ Pilkada di Pulau Garam, Ini Kata Pengamat, Kiai dan Kades


Ilustrasi vote buying Perbesar

Ilustrasi vote buying

Ilustrasi vote buying

BANGKALAN, Lingkarjatim.com – Praktik dagang suara atau vote buying amat kental dalam tradisi pemilihan kepala daerah (pilkada) di Pulau Garam. Apalagi, kuasa blater, kiai, dan kepala desa di Madura, memiliki pengaruh signifikan terhadap suksesi calon kepala daerah. Targetnya, tentu saja melenggang dengan mudah menuju singgasana Pendapa Agung.

Tahun ini, tiga kabupaten di Madura, yakni Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan, bakal melaksanakan pilkada serentak. Publik, terutama pemilih pemula perlu mewaspadai perilaku vote buying yang dilakukan oknum untuk mengeruk keuntungan. Sebab, dagang suara merupakan ancaman bagi demokrasi elektorat di Madura.

Tak bisa dipungkiri dagang suara kerap dilakukan oleh kelompok atau sosok yang memiliki kuasa atas massa. Parpol, Kiai, Blater, dan Kades yang notabene memiliki kekuatan massa sering kali melakukan praktik vote buying untuk mendulang suara bagi calon Kepala Daerah tertentu.

Peneliti Surabaya Survei Center (SSC) Surokim Abdusalam menilai praktik vote buying di Madura sudah menjadi habitat. Bahkan praktik tersebut sudah berlangsung turun-temurun, sebagai bagian dari relasi berbagi kekuasaan.

“Praktik dagang suara, jika berlangsung terus-menerus, bisa menjadi kultur yang kontra produktif bagi demokrasi elektorat di Madura,” ucap eks Kepala Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura (UTM) itu, Senin (21/5/2018).

Pendiri Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Publik UTM itu melontarkan, publik Madura juga terlihat mafhum dan permisif terhadap pelanggaran tersebut. Sebab, mereka menganggap tidak memiliki kepentingan langsung terhadap hasil Pilkada.

Dengan demikian, siapa pun nanti yang bakal terpilih sebagai Bupati, dianggap tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kesejahteraan dan kepentingan masyarakat. Akibatnya, politik dagang suara begitu mudah dipasarkan serta tidak ada kepentingan ideologis dan rasional.

“Kompleks sekali perpolitikan di Madura. Padahal relasi dagang suara ini begitu menguntungkan ekonomi-politik banyak pihak,” ungkap Surokim.

Menurut Surokim, praktik vote buying di Pulau Garam terpelihara secara alami, baik secara struktural maupun kultural. Namun publik masih bisa meletakkan harapan, terutama terhadap pemilih muda di Madura yang jumlahnya sekitar 17 persen.

Sekali lagi, pemilih muda harus mampu melepaskan diri dari belenggu kuasa. Sehingga harapan menciptakan demokrasi elektorat di Madura masih ada.

”Tapi, jika pemilih muda ikut tersesat, maka sebenarnya tidak ada harapan menciptakan demokrasi elektorat di Madura. Bahkan sampai sepuluh tahun mendatang,” pengajar komunikasi politik UTM itu meyakinkan.

Senada dengan Surokim, Sosiolog Iskandar Dzulkarnain menilai pesta demokrasi di Madura tidak bisa dilepaskan dari unsur Kiai, Blater, dan Kades.

Berbicara kepemimpinan blater, kiai, dan kades, dalam penyuksesan pilkada, tidak bisa dilepaskan dari karakteristik Pulau Garam.

Karena Madura termasuk daerah tegalan atau daerah dengan lahan kering. Selain itu, pola pemukiman Taneyan Lanjhang juga menjadi konsekuensi.

Kepemimpinan dalam arti luas, kata Iskandar, yakni sosok pemimpin formal yang dipegang Kades dan pemimpin non formal yang dikuasai tokoh blater dan kiai.

”Di sinilah kuasa mereka dalam menggerakkan massa untuk memilih salah satu calon terbentuk. Melalui pola pergerakan kepada keluarga batih (orang seisi rumah yang menjadi tanggungan seseorang) yang ada di Taneyan Lanjhang. Yakni kepala keluarga,” terang pria asal Sumenep itu.

Menurut Iskandar, jaringan sosial itulah yang menjadi penggerak paling efektif dalam pemenangan Pilkada di Pulau Garam.

Dia mengingatkan, pemimpin non formal yang tidak boleh dilupakan adalah sosok kiai. Sebab, jaringan kiai yang bersifat smooth (halus), akan menentukan proses pemenangan Pilkada.

”Kita harus ingat bahwa santri, alumni, dan keluarga kiai, bisa menjadi senjata ampuh dalam pemenangan pilkada,” terang pria yang mengabdikan diri di UTM itu.

Bahkan, peran kiai, blater, dan kades, mampu menggunakan beragam cara untuk menyukseskan proses pemenangan ini. Termasuk cara-cara yang tidak demokratis.

Salah satunya dengan cara mengancam keamanan, kekerasan, money politik, dan pengharaman memilih salah satu calon yang tidak didukung.

”Pola ini akan merugikan hak-hak publik dalam menentukan sosok pemimpin yang menjadi pilihan. Peluang inilah yang mereka baca (kiai, blater, kades). Sehingga mereka menjual dirinya kepada calon untuk memenangkan sang calon,” dosen sosiologi UTM itu menambahkan.

Yang menjadi persoalan lain, terkadang kiai, blater, dan kades, tidak mengetahui profil, visi-misi, dan kompetensi tentang calon kepala daerah yang hendak mencalonkan diri. Apalagi jika tujuannya hanya ingin mendapatkan uang dari Politik dagang.

Bila sudah demikian, dengan uang itulah mereka memperdaya masyarakat untuk memilih sesuai keinginan pemimpin formal dan non formal.

”Inilah ironi pilkada di Madura. Siapa yang punya uang, dialah pemenangnya. Karena itu sangat perlu pendidikan politik dan pendidikan demokratis bagi masyarakat,” kata Iskandar.

Apologi Kiai dan Kades

Adanya politik dagang suara dalam pilkada di Madura yang juga menyeret nama kiai dibantah KH Nuruddin. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam itu mengaku bahwa kiai tidak pernah melakukan dagang suara di Pilkada.

”Mungkin begini, salah satu calon datang ke kiai sungkem dan meminta dukungan. Yang terjadi biasanya seperti itu. Tapi kalau sampai minta dikondisikan itu tidak ada,” katanya.

KH Nuruddin menyebut bahwa dagang suara dimungkinkan dilakukan oknum Kades. Sebab dia pernah mendengar pusaran praktik kotor itu dilakukan Kades.

”Kalau ke Kades dan blater kemungkinan besar ada, seperti yang pernah saya dengar. Kabarnya satu suara dihargai berapa gitu. Tapi kalau kiai rasanya sangat tidak masuk akal. Kalau pun ada, kiai macam apa yang demikian itu,” sindirnya.

Untuk meminimalisasi ketidakpercayaan publik terhadap nama besar kiai, KH Nuruddin berharap agar para kiai tidak ikut aktif dalam persoalan-persoalan politik praktis.

”Saya berharap kiai tetap menjaga hubungan masyarakat dengan baik, jangan sampai ketokohan kiai yang di hormati oleh umat ini dirusak gara-gara politik praktis,” pintanya.

Sekretaris Asosiasi Kepala Desa (AKD) Bangkalan Khoirul Anam mengakui politik dagang suara bukanlah hal tabu di kalangan kades dan blater.

Menurut dia, adanya perdagangan suara yang melibatkan kades tidak lepas dari berbagai kepentingan. Dia mengklaim, kepentingan itu demi kemakmuran masyarakat desa itu sendiri.

”Secara de facto, jual beli suara yang melibatkan kades itu mungkin benar. Tapi secara de jure tentunya tidak. Karena mereka ini (kades) adalah bagian dari kekuasaan. Apalagi dengan adanya UU 6/2014, di situ disebutkan bahwa kekuasaan kades itu penuh,” ujarnya.

Kades Pesanggrahan, Kecamatan Kwanyar, Bangkalan, itu mengaku praktik vote buying tidak hanya terjadi di Kota Salak. Bahkan, praktik tersebut juga terjadi di seluruh Indonesia.

Alasannya lanjut Khoirul, kades memiliki pengaruh cukup besar, baik dalam menentukan suara maupun kondusifitas perhelatan pilkada serentak 2018 pada saat ini. (Atep/Lim)

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jelang Pilkada, PKB Buka Pendaftaran Calon Bupati Bangkalan 2024

24 April 2024 - 17:32 WIB

Peringati HPN 2024, PWI Sidoarjo Bagikan Sembako untuk Warga Terdampak Banjir

24 April 2024 - 17:24 WIB

Halalbihalal dengan Wartawan, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Gaungkan Peduli Lingkungan

23 April 2024 - 19:52 WIB

Terjerat Kasus Korupsi, Mantan Bupati Malang RK Akhirnya Bebas Bersyarat

23 April 2024 - 16:37 WIB

Pelantikan ASN Sidoarjo Cacat Prosedur, Sekda : Saya Mohon Maaf

23 April 2024 - 16:15 WIB

Tabrak Mobil Tronton, Suami Istri Pengendara Honda Vario Meninggal Dunia

23 April 2024 - 15:42 WIB

Trending di HUKUM & KRIMINAL