SIDOARJO, Lingkarjatim.com – Lima Warga Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo yang menjadi korban lumpur Lapindo mendesak pemerintah membayar ganti rugi. Pasalnya, hingga saat ini pembayaran ganti tanah seluas 17 hektar yakni senilai Rp.17,1 miliar belum terlaksana.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Jo nomor 48 tahun 2008 dan peraturan Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) nomor 41/PRT/P/2008, yang mana mewajibkan kepada masyarakat disekitar area semburan lumpur supaya menyerahkan tanahnya untuk digunakan sebagai kolam penampungan lumpur, termasuk 7 bidang tanah.
Keputusan Pemerintah mengenai penyerahan tanah tersebut berdasarkan atas perbuatan hukum jual-beli dengan menggunakan APBN yang seharusnya sudah lunas sejak tahun 2010.
“Kenyataannya pembayaran atas tanah kami sampai hari ini belum terlaksana,” ujar Koordinator korban lumpur Sidoarjo, Thoyib Bahri saat mendatangi balai wartawan Sidoarjo, Senin (17/9/ 2018).
Pihaknya mengaku sudah melakukan berbagai upaya hukum untuk mendapatkan ganti rugi tersebut. Pada tahun 2012, pihaknya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kepada Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan (Tergugat I), Menteri PU RI, selaku dewan Pengarah BPLS (tergugat ISI), dan Kepala Badan Pelaksana BPLS (tergugat III).
“Amar putusannya berbunyi, gugatan dikabulkan, dan tergugat II dan III diminta untuk membayar tanah darat seharga tanah pekarangan. Dan Putusan Pengadilan Tinggi menyatakan hal yang sama. Yakni tergugat I, II dan III melakukan perbuatan melawan hukum dan membayar tanah darat seharga tanah pekarangan. Hingga putusan Kasasi juga sama,” katanya.
Tidak hanya itu, lima korban lumpur Sidoarjo juga pernah menemui Biro Hukum Kementerian PUPR. Disana mereka menjawab secara lisan bahwa akan dibayar, tapi perlu kehati-hatian dan upaya maksimal.
Pihaknya merasa heran, sepuluh tahun memperjuangkan haknya untuk mendapat ganti rugi belum juga terbayarkan.
“Bukankah usaha maksimal harusnya sudah mereka lakukan saat masih di pengadilan. Bahkan, saat ini, tergugat II yang juga merangkap tergugat III menguasakan kepada Kejaksaan agung RI sebagai pengacara Negara. Dan penyelesaiannya pun semakin sulit. Buktinya, kami berkirim surat sampai sekarang tidak ada tanggapan,” terangnya.
Maka berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor :27 k/PDT/2015. Jo, 248/PDT.6/2012/PNJKT.PST, para korban menuntut agar pemerintah membayar ganti rugi sesuai keputusan tersebut. (Mam/Atep/Lim)