Surabaya, Lingkarjatim.com – Kendati tekanan untuk menunda pelaksanaan PILKADA serentek disampaikan sejumlah lembaga nasional, akibat situasi pandemi COVID-19 yang tak kunjung mereda. Pemerintah menegaskan tetap melanjutkan proses pilkada sesuai jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Langkah pemerintah ini dinilai PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Jawa Timur sebagai sikap abai pemerintas atas rasa kemanusiaan.
PBNU dan KOMNASHAM menyampaikan pernyataannya dalam keterangan pers yang disampaikan kepada publik Minggu (20/9) kemarin. KOMNASHAM ada 3 poin potensi pelanggaran hak. Yakni hak untuk hidup, hak untuk sehat serta hak untuk mendapatkan rasa aman.
Sementara PBNU dalam pernyataan sikapnya menyampaikan. Bahwa sulit bagi pelaksana pemilu dan seluruh perangkat yang terlibat di dalamnya untuk memastikan gelaran PILKADA tidak akan melibatkan massa dalam jumlah yang besar. Karenanya PBNU meminta pemerintah untuk menunda pelaksanaan PILKADA hingga Pandemi COVID-19 benar benar berakhir. Serta meminta pemerintah untuk merealokasi Anggaran pelaksanaan pemilu untuk dijadikan dana kemanusiaan untuk menangani Krisi kesehatan.
Sayangnya pemerintah tak mengindahkan upaya kedua lembaga tersebut. Pemerintah melalui juru bicara istana memastikan bahwa PILKADA tetap digelar sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.
“”Pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakkan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru Pilkada,” terang Fadroel Rachman, juru bicara presiden sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com (21/9).
Bagi pemerintah, pelaksanaan PILKADA serentak harus tetap digelar sesuai rencana demi memastikan hak konstitusional masyarakat. Tentunya dengan memperhatikan aturan terkait protokol kesehatan.
Sikap pemerintah ini sangat disayangkan PMII Jatim. Bagi Abdul Ghoni, Ketua Korcab PMII Jatim, implementasi protokol kesehatan di lapangan jauh dari kata sesuai, jika dibandingkan dengan regulasi yang sudah ditetapkan. Karenanya pemerintah terkesan setengah hati dalam upayanya menuntaskan krisis kesehatan kali ini.
“Contoh di Banyuwangi beberapa lalu saat pendaftaran bakal calon, benar memang protokol kesehatan dijalankan. Ruangan diisi tidak lebih dari 50 orang. Tapi coba lihat diluar ruangan ada ratusan orang disana. Berkerumun tidak mengindahkan protokol kesehatan, bahkan tidak sedikit yang hadir tanpa menggunakan masker,” terang Abdul Ghoni saat dihubungi lingkarjatim.com Senin siang.
Karenanya bagi Ghoni, kalaulah pemerintah tidak bisa menunda PILKADA harusnya pemerintah membuat regulasi yang lebih tegas. Misalnya, dengan mendiskualifikasi calon yang melanggar protokol kesehatan. Sebagai bukti keseriusan pemerintah mengatasi krisis kesehatan ini. (Jos)