Setya Novanto Tak lagi Politikus Licin

Oleh : Imroatin

OPINI, Lingkarjatim.com – Setnov, begitulah orang memanggilnya, ia dikenal salah satu politikus ulung yang licin, kebal hukum, dan diyakini punya full power yang mampu memenangkan berbagai kasus yang akan menyeret dirinya. Namanya, tak jarang disebut-disebut dalam berbagai kasus besar di negeri ini. Misal, Kasus Cessie Bank Bali (1999), Kasus Beras Impor Vietnam Ilegal (2003), Kasus Limbah Beracun B3 di Pulau Galang, Kepulauan Riau (2006), Kasus Papa Minta Saham (2015), dan Kasus dugaan korupsi E-KTP (2017) dll. Namun, rupanya ia salah satu orang yang selalu selamat dari jeratan hukum. Inilah yang kemudian mendasari orang memberikan julukan kepadanya, politikus licin. Pertanyaannya sekarang, apakah Setnov akan terus menerus menang dalam berbagai kasus?

Menjawab pertanyaan diatas, saya teringat dengan peribahasa lama yang sering orang katakan, “sepandai-pandai Tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”. Begitu juga peribahasa yang lain, “sepandai-pandai apapun orang menyembunyikan bangkai, pada akhirnya baunya akan tercium”. Dua peribahasa tersebut sangat relevan dengan firman Allah “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS. Al-Isra’: 81).

Peribahasa lama yang kerap digunakan banyak orang tersebu,t dan firman Allah di atas secara tegas menjadi bukti bagi kita bahwa pada saatnya kebatilan akan kalah dengan kebajikan. Namun, yang menjadi catatan dan tugas kita. kebenaran itu, harus diperjuangkan dan dilakukan dengan cara yang baik dan profesional, karena sebagaimana adigium para kaum pergerakan (harakah), “kebenaran yang tidak terorganisir dengan baik akan kalah dengan kabatilan yang terorganisir dengan baik”, maka, adigium ini sebagai legitimasi, bahwa kebenaran harus dilakukan dengan cara baik dan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan membutuhkan pengorbanan.

Sebagai bukti faktual, kasus yang menimpa ketua DPR Setya Novanto (Setnov) semua orang sudah mafhum, bahwa meskipun ia sudah dinyatakan tersangka tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengadilinya. Bahkan, sampai delapan kali ia mangkir dari panggilan KPK baik dengan alasan sakit, agenda negara, dan terakhir ditemukan tertabrak ke tiang listrik; yang pada akhirnya tiang listrik pun menjadi tempat wisata dadakan.

Menyikapi persolan tersebut, inilah yang dinyatakan oleh Erving Gaffman (Ritzer, 2012) dalam teori dramaturgi, sebagai panggung sendiwara politik, dimana perilaku elite politik ketika berada diatas panggung (front stage) dan berada di belakang panggung (back stage) selalu menampilkan yang berbeda, kalau di publik mencitrakan hal-hal yang positif, elegan, dan bijaksana. Sedangkan dibelakang publik penuh intrik dan kamuflase untuk mengelabui publik. Berpijak dari uraian dan kajian teoritik tersebut. Menurut hemat saya, langkah Setnov, kuasa hukumnya dan kroni-kroninya, selama ini adalah by design agar selamat dari jeratan hukum.

Maka, sebagai lembaga yang taat hukum apa pun yang terjadi terhadap Setnov, KPK tetap mengadilinya. Sebab, ini adalah peroses hukum yang harus dijalankan karena bagaimanapun bentuknya, di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dijelaskan, semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law).

Menyikapi kasus ini, sebenarnya tidak cukup diberikan kepada KPK. Dibutuhkan kerja sama semua elemen bangsa. Sebab, uang 2,3 triliun yang sudah dikorupsi dalam kasus e-KTP sudah sangat merugikan negara ini. Presiden dan wakil presiden harus tetap konsisten untuk menegakkan supremasi hukum dan harus menolak lobi-lobi Setnov yang selama ini dilakukan (Jawa Pos, 21/11). Begitu pun DPR yang lain, harus juga mendukunng dengan penuh kesadaran bahwa dirinya sebagai perwakilan rakyat bukan perwakilan perseorangan apalagi hanya untuk kepentingan kelompok (partai).

Yang tidak kalah urgennya, dukungan seluruh masyarakat kepada KPK; siapapun orangnnya, apalagi pemimpin publik yang sudah mengkhianati rakyat harus bertanggungjawab terhadap apapun yang sudah dilakukan, apalagi tindakannya sudah diluar nalar kemanusian dan sangat merugikan negara.

Bagaimana pun caranya, kuasa hukum Setnov bersilat lidah dan para kroni-kroni menutupi kesalahannya. Saya punya keyakinan Setnov pada akhirnya akan mendekam dalam penjara. Sebagai analogi mendasar; kepemimpinan Soeharto sosok yang sangat berpengaruh, pemimpin paling korup, dan sangat otoriter kepada rakyatnya, dia punya semuanya, jabatan seumur hidup, uang banyak dan aturan bangsa ini berada dalam genggamannya.

Namun, ia juga manusia bukan Tuhan yang kekuasaannya tidak terbatas. Di tengah masyarakat yang sudah geram dengan segala kebijakan dan tindak tanduknya yang tidak pro rakyat. Maka, sangat wajar mahasiswa melakukan perlawanan sehingga pada puncaknya ia harus lengser secara tidak terhormat.

Begitu pun Setnov, menurut hemat saya, jika ia pemimpin yang amanah, harus mempertanggungjawabkan semua apa yang dilakoninya, jangan menunggu seperti nasibnya Soeharto yang lengser dengan cara tidak terhormat.

Penyerahan dirinya, kepada lembaga antirasuah dua hari yang lalu sebanarnya bukan sebagai bentuk penyesalan dan pertanggungjawaban. Tetapi, lebih pada tidak kuasanya lagi untuk melawan KPK dan ini dibuktikan dengan memperkuat tim pengacaranya dan menunjuk Otto Hasibuan sebagai kuasa hakum baru melengkapi Fredrich Yunadi.

Namun, penyerahan dirinya yang diikuti dengan pernyataan pasrah kepada lembaga superbodi tersebut, menjadi bukti faktual bahwa ia sudah tak lagi menjadi politikus yang licin dan kebal hukum. Dan ini sebagai pelajaran untuk kita semua, bahwa di negara ini tidak ada orang yang memiliki kekuasaan absolud. Oleh karena itu, Jika salah, mari katakan salah. Jika benar, mari katakan benar. Sebab, kejujuran salah satu syarat yang sangat fundamental untuk menyelematkan bangsa ini.

Penulis : Mahasiswa Magister Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

 

 

Leave a Comment