Selain Harga yang Anjlok, Petani Garam Keluhkan Tidak Adanya Pedagang yang Beli Garam ke Petani

Petani garam.

SUMENEP, Lingkarjatim.com – Harga garam ditingkat petambak tengah anjlok. Hal itu terjadi dibeberapa daerah. Salah satunya di Pulau Gili Raja, Kecamatan Giligenting, Sumenep. Selain anjlok, hal tersebut juga diikuti oleh tak lakunya garam yang membuat petambak kelimpungan.

Salah satu tokoh masyarakat dan petambak garam asal Pulau Gili Raja, Syahrul Gunawan mengatakan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang dapat melindungi garam hasil petambak lokal. Sehingga anjloknya harga garam tidak kembali terjadi dikemudian hari.

Dia juga mengatakan, saat ini harga garam berada pada harga antara Rp300 ribu hingga Rp400 ribu per ton. Harga itu berbeda dengan musim panen sebelumnya yang pencapai Rp700 ribu per ton.

“Sejak beberapa bulan lalu harga garam terus turun, hingga saat ini menjadi Rp300 perkilo gram,” kata Sahrul, Senin (15/07/2019).

Tidak hanya soal harga yang anjlok, dia juga menyebut saat ini garam ditingkat petambak sudah tidak laku, sehingga semakin menambah keresahan petambak garam. Saat ini kata dia, tidak ada satupun pedagang yang mau membeli garam ditingkat petambak.

“Biasanya banyak pedagang yang kesini untuk membeli garam, tapi saat ini sepi,” tambah lelaki asal Desa Jate, Pulau Gili Raja itu.

Bahkan, jika harga garam tidak mengalami peningkatan dan bertahan pada harga Rp300 ribu perton, petambak garam bisa dipastikan akan merugi. Karena biaya operasional yang dikeluarkan cukup tinggi. Dengan harga demikian, hanya mampu untuk membayar kuli.

“Biaya angkut dari tambak ke gudang Rp150 ribu perton, ditambah biaya angkut dari gudang ke perahu Rp150 ribu perton, itu belum lagi biaya ongkos perahu untuk membawa ke daratan. Ya pasti rugi,” tegasnya.

Biasanya kata dia, hasil produksi garam di Gili Raja dijual ke Kecamatan Kalianget atau dikirim ke Situbondo melalui pelabuhan Panarokan. Luas lahan pegaraman di Pulau Gili Raja diperkirakan mencapai 10 hektar lebih yang tersebar di tiga desa, yakni Desa Banbaru, Lombang, dan Desa Banmaleng.

Anjloknya harga garam kata salah satu tokoh masyarakat itu karena tidak adanya regulasi yang melindungi petambak, ditambah saat ini pemerintah masih melakukan impor garam.

“Kami jangan dijastis anti impor, tapi kami juga diperhatikan agar kami tidak merugi,” ungkapnya.

Mestinya kata Syahrul, pemerintah juga memberi kewajiban pada importir untuk menyerap garam lokal. Sehingga penyerapan garam ada keseimbangan antara garam impor dan garam lokal. Apalagi mulai Agustus mendatang diperkirakan di Kabupaten Sumenep memasuki panen raya.

“Aturannya kan bisa dibuat oleh Pemerintah selaku pengendali kebijakan,” jelasnya.

Sebelumnya Kepala Dinas Perikanan Sumenep, Arief Rusdi mengaku tidak bisa berbuat banyak soal harga garam. Hanya saja mantan Kepala Dinas Peternakan itu meminta petambak untuk tetap mempertahankan kualitas.

Dia meyakini apabila kualitas bagus, maka harga garam dipastikan akan lebih mahal.

“Kalau kualitasnya meningkat maka harga yang diinginkan akan tercapai,” katanya. (Lam/Lim)

Leave a Comment