Rektor UINSA: Kasus Kematian Aktivis HAM Munir Masih Teka Teki

Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Prof. Masdar Hilmy

SIDOARJO, Lingkarjatim.com – Kalangan Akademisi masih menyoroti kasus Pelanggaran HAM, Munir Said Talib yang menyeret terpidana Pollycarpus Budihari Prianto.

Mantan Pilot maskapai Garuda Indonesia tersebut dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan surat dari Kementerian Hukum dan HAM sejak 24 November 2014.

Sebelumnya, ia menjalani hukuman selama lima tahun lebih di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.

Menurut Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Prof. Masdar Hilmy, kasus kematian aktivis HAM Munir masih menjadi teka-teki, meski Pollycarpus sudah dinyatakan bisa menghirup udara bebas.

“Perlu langkah yang lebih substantif dalam menguak kotak hitam (teka-teki) itu. Selama kotak hitam masih tertutup dan belum ada yang mampu membuka, maka tidak akan bisa terungkap,” katanya, Kamis (30/8/2018).

Hal ini kata Masdar, bisa dilakukan manakala pihak-pihak yang terlibat bisa diungkap satu persatu.

Selama ini lanjut dia, Negara sudah berpihak dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

“Negara juga mengedepankan asas praduga tak bersalah yang mana tidak bisa dilakukan secara serampangan,” ujar Prof Masdar dalam dialog Publik “Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat Masa Lalu” yang digelar bersama Komnas HAM di Gedung Green SA, Juanda, Sidoarjo.

Dirinya juga yakin nalar publik memahami betul kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada kasus pelanggaran HAM selama ini.

“Namun, yang menjadi kendala adalah bagaimana kita bisa merangkai sebuah narasi yang utuh dalam mengungkap kasus pembunuhan Munir,” terangnya.

Sampai saat ini, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah Pollycarpus merupakan kunci ataukah justru menjadi orang yang dikorbankan (tumbal) dalam kasus pembunuhan Munir.

“Teka-teki inilah yang mungkin harus diungkap lantaran kasus tersebut menjadi salah satu kasus yang di desain besar untuk menghilangkan orang-orang yang dulunya kritis terhadap rezim,” tandasnya.

“Kalau misalnya iya, maka tugas kita memaksa Pollycarous untuk jujur, tapi saya rasa sampai saat ini belum berhasil. Atau justru menjadi tumbal pihak-pihak tertentu sehingga hilang jejaknya,” tambahnya.

Menuru Prof Masdar, Pollycarpus merupakan salah satu bagian dari mata rantai yang cukup istimewa, dalam artian harus ditangani secara hati-hati. Jangan sampai salah dalam mengambil langkah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap Munir.

“Ketika ada satu saja entri ponit terbuka, saya yakin pelanggaran HAM bakal terkuak, termasuk kasus Munir,” tegasnya.

Lantas bagaimana dengan Peran Komnas HAM sendiri?, Prof Masdar menjawab bahwa pihaknya belum melihat kemajuan secara signifikan atas pengungkapan kasus pelanggaran HAM.

Bahkan ujar dia, Komnas HAM selalu terbentur dengan Masalah tarik ulur kepentingan yang lebih besar.

“Dikhawatirkan apa yang dilakukan Komnas HAM akan berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik kerukunan, stabilitas, soliditas kita sebagai bangsa dan bernegara,” cetusnya.

“Karena pelakunya orang-orang bangsa kita sendiri. Akhirnya ketakutan itu menjadi problem kita bertindak secara fair, adil dan obyektif,” ungkapnya.

Sebagai akademisi, pihaknya sangat mendukung terhadap langkah pemerintah dan negara dalam rangka mencari solusi judicial atas berbagai pelanggaran ham di masa lalu.

“Apapun konsekwensinya kita harus terbiasa dan belajar dalam prosedur penanganan berasas keadilan,” pungkasnya. (Mam/Atep/Lim)

Leave a Comment