SURABAYA, Lingkarjatim.com – Pengamat dari Universitas Bayangkara (Ubhara), Jamil, menilai jika ada Badan Publik dilingkungan Pemprov Jatim alergi terhadap keterbukaan informasi, dimungkinkan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dilembaga tersebut. Pasalnya, pemohon informasi publik terkadang dipersulit meminta informasi kepada badan public di Jatim
“Kalau ada hal-hal yang ditutupi, jangan disalahkan jika masyarakat mencurigai adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pemerintah Jatim yang itu berujung kepada kerugian yang dirasakan masyarakat,” ujar Pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum ini kepada Lingkarjatim.com, Selasa (13/06/2017).
Dia berujar jangan mudah percaya kepada Pemprov Jatim yang terkenal adem ayem yang dikonotasikan pemerintahan yang baik, karena selama ini dianggap tidak ada masalah. Lanjut Jamil, kemungkinan adem ayem itu, antar berbagai oknum lembaga negara ternyata telah bersekongkol untuk menutupi informasi yang seharusnya terbuka, seperti ditetapkannya 6 tersangka oleh KPK dalam kasus suap ke salah satu anggota DPRD Jatim yang dilakukan oleh dua Kadis Pemprov Jatim.
“Eksekutif pun bisa melakukan kongkalikong dengan DPRD sehingga seakan-akan tidak ada persoalan di Jatim tapi faktanya banyak persoalan, salah satunya Kadis Pertanian Jatim kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK dalam kasus suap kepada Ketua Komisi B DPRD Jatim ” ujarnya
Seharusnya badan public Jatim menurutnya, berterima kasih kepada masyarakat yang ikut serta mengawasi, jika Pemprov Jatim sudah bertekada baik, apa yang harus ditakutkan karena keterbukaan informasi sudah menjadi hak masyarakat. “Menurutku sudah tidak beres, karena itu hak, apa sih yang ditakutkan, selama pemerintah itu berjalan dengan baik. Bahkan diminta itu (informasi) harus berterima kasih kepada masyarakat yang juga ikut melakukan pengawasan,” tanyanya.
Rangking satu nasional yang diraih Pemprov Jatim bidang KIP jadi pertanyaan besar dalam benaknya. Menurutnya penilaian itu terlalu administrative tapi kurang realistis, sehingga banyak unsur subjektivnya disana.
“Akan lebih realistis jika penilaian itu ditanyakan kepada masyarakat setempat yang sering mengajukan permintaan informasi. Tidak hanya ukuran yang administrative saja, itu hanya klaim. BPK saja masih bermasalah, WTP itu ternyata bisa diperjualbelikan” pungkasnya. (Sul/diq)