Menu

Mode Gelap

KELAKAR · 4 Dec 2019 02:45 WIB ·

Pendisiplinan Organisasi Melalui Asas Pancasila


Pendisiplinan Organisasi Melalui Asas Pancasila Perbesar

Jamil SH. MH

Oleh: Jamil, S.H., M.H.*

Diksi Pancasila tidak secara expressis verbis diredaksilan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), namun sila-silanya dengan lengkap sudah termaktub  dengan jelas dalam alenia ke empat UUD NRI 1945.

Sedangkan diksi Pancasila dapat ditemukan dalam Tap MPR No.XVIII/MPR/1998 Pasal 1 yang berbunyi: “Pancasila sebagamana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 Adalah dasar negara dari Negara Kestuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”   

Meskipun sudah sangat jelas ditegaskan sebagai dasar negara Indonesia, namun pemberlakuan pancasila mengalami dinamika dari berbagai estafet rezim kepemimpinan. Pemberlakuan Pancasila sebagai dasar negara (Grundnorm) mengalami kejayaannya dimasa orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Pada masa tersebut dikenal berbagai istilah yang didalamnya termaktub diksi Pancasila, diantaranya demokrasi pancasila, asas tunggal pancasila, Pedoman,penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) dll.

Doktrinasi dan idiologisasi nilai pancasila melalui berbagai acara penataran dan legal formal negara digalakkan demi mendisiplinkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Subject hukum yang menjadi sasaran idiologisasi Pancasila tidak hanya berupa individu-individu masyarakat (person) tetapi juga berbagai organisasi baik organisasi kemasyarakatan maupun partai politik (recht person).

Pasca orde baru atau yang lebih dikenal dengan orde reformasi, pemberlakuan idiologi pancasila dianggap terlalu lebbay (berlebihan) hingga akhirnya TAP MPR No.II Tahun 1978 Tentang P4 dicabut melalui TAP MPR No.XVIII Tahun 1998.

Pada periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo Pancasila kembali dianggap penting untuk dipedomani dan diamalkan bagi segenap elemen bangsa Indonesia.

Atas dasar hal tersebut melalui Perpres No. 7 Tahun 2018 Presiden Jokowi membentuk sebuah Badan yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/ lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. Badan tersebut bernama Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP).

1. Idiologisasi Pancasila dalam Ormas

Pada masa orde baru, Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus diberlakukan mengikat kehidupan Organisasi Masyarakat. Ikatan tersebut secara expressis verbis termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8/1985 Tentang Ormas.

“Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas Pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi ormas kemudian dikenal dengan asas tunggal Pancasila.

Masa Orde Reformasi, UU No.8/1985 dicabut dan diganti dengan UU. No. 17 tahun 2013 Tentang Ormas dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa Ormas tidak harus berasaskan Pancasila tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.

Pada tahun 2017 UU Ormas mengalami perubahan, Perubahan tersebut diawali dengan penerbitan Perppu yang kemudian diundangkan dengan UU No. 16 tahun 2017 Tentang Penetapan Peppu No. 2 tahun 2017.

Dalam UU tersebut tidak ada penegasan pemberlakuan asas pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi tetapi dalam konsideran menimbang salah satu alasan urgensi perubahan adalah karena dalam UU No.17/13 tidak mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194S sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal peneraparn sanksi yang efektif.

Artinya Pancasila kembali ditekankan sebagai idiologi yang perlu dipedomani dalam kehidupan berserikat atau berorganisasi.

Lahirnya UU No. 2 tahun 2017 juga menjadi dasar bagi pencabutan SK Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila sehingga harus dibubarkan.

Penulis sebenarnya termasuk orang yang tidak sepakat dengan cara pencabutan sepihak oleh pemerintah, namun bukan berarti penulis setuju dengan sistem khilafah yang diusung oleh HTI tetapi pembubaran langsung oleh pemerintah selain menunjukkan sikap kesewenang-wenangan pemerintah (abuse of power) yang berpotensi merusak demokrasi, pembubaran langsung oleh pemerintah juga akan dibaca sebagai kebijakan politik.

Menurut penulis akan lebih elegan dan idial seandainya pemerintah mau bertarung dulu melalui jalur peradilan. Kalau pengadilan sudah memutuskan bahwa HTI memang bertentangan dengan idiologi Pancasila maka pencabutan SK HTI (pembubaran) bukan didasarkan pertimbangan politik ansich tetapi didasarkan pada putusan pengadilan.

Kalau hal demikian yang terjadi maka legalisasi dan legitimasi atas pembubaran HTI akan lebih kuat, tetapi nasi sudah menjadi bubur, HTI sudah dibubarkan meskipun gerakannya masih sering terdengar.

Kini yang masih berjuang memperpanjang SK nya adalah FPI sebuah organisasi islam yang dipimpin oleh Habib Rizik Sihab yang konon kesulitan pulang ke Indonesia.

Pengajuan perpanjangan tersebut konon sudah lolos dikementerian agama namun masih mendapat hambatan dari kemendagri karena dalam AD/ARTnya ada kalusul yang menyebut penerapan islam secara kafah di bawah naungan khilafah islamiah.

Bunyi AD/ART FPI ini mungkin oleh mendagri masih perlu dikaji apakah bertentangan dengan Pancasila atau tidak sehingga perpanjangan SK masih ditangguhkan.

Terlepas dari hal diatas, seandainya SK FPI tidak diperpanjang bukan berarti FPI itu dibubarkan oleh Negara. FPI tetap menjadi organisasi dengan segala hak-hak keorganisasian yang melekat padanya.

Organisasi kemasyarakatan itu berbeda dengan lembaga Negara, kalau lembaga Negara, manakala pimpinan lembaganya (komisioner) sudah habis periodenya dan tidak ada lagi rekrutmen lanjutan untuk mengisi kekosongan kepemimpinan serta tidak ada alokasi anggaran yang diberikan pada lembaga tersebut maka sudah pasti lembaga tersebut bubar.

Namun tidak demikian bagi sebuah organisasi kemasyarakatan, hak konstitusionalnya akan tetap melekat selama Negara tidak menyatakan sebagai organisasi terlarang yang harus dibubarkan.

Oleh karenanya, terdaftranya organisasi dalam dokumen Negara, sebanarnya dapat mempermudah Negara dalam mendisiplinkan gerakan organisasi tersebut.     

2. Idiologisasi Pancasila dalam Parpol

Idiologisasi Pancasila di masa orde baru juga mengikat partai Politik dalam Pasal 2 ayat {1) UU No.3/1975 Tentang Parpol dan Golkar dinyatakan “Azas Partai Politik dan Golongan Karya adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Saat ini undang-undang partai politik yang berlaku adalah UU. No.2 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No.2 tahun 2011.

Dalam Pasal 9 UU 2/2008 asas parti politik dilarang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 namun tetap diperbolehkan mencantum ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita partai politik asas tidak bertentang dengan Pancasila dan UUD 1945.

Partai politik yang dikenal berhaluan Islam adalah PKB, PPP,PKS,PBB diantara empat partai berhaluan islam tersebut PPP,PKS dan PBB memang menyatakan berasaskan islam dalam AD/ARTnya tetapi PKB mencantumkan semua lima sila dalam Pancasila sebagai asasnya.

Para Ulamak Indonesia bersepakat bahwa Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sehingga asas islam dijadikan sebagai asas partai politik aman-aman saja.

3. Kesimpulan

Pasang surut pemberlakuan Pancasila sebagai idiologi yang mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara dinegeri ini tentu tak lepas dari dinamika demokrasi yang berkembang akhir-akhir ini.

Kebebasan berserikat dan mengutarakan pendapat sebagai hak kontitusional warga negara bukan hanya perlu diperbolehkan  tetapi juga perlu mendapatkan perlindungan negara.

Tetapi negara juga memiliki hak-haknya untuk menjaga kedaulatan dan keamanannya. Oleh karenanya negara merasa perlu mendisiplinkan semua pihak demi menjaga kedaulatan dan kondusifitas negara.     

*) Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara
  
































Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jelang Pilkada, PKB Buka Pendaftaran Calon Bupati Bangkalan 2024

24 April 2024 - 17:32 WIB

Peringati HPN 2024, PWI Sidoarjo Bagikan Sembako untuk Warga Terdampak Banjir

24 April 2024 - 17:24 WIB

Halalbihalal dengan Wartawan, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Gaungkan Peduli Lingkungan

23 April 2024 - 19:52 WIB

Terjerat Kasus Korupsi, Mantan Bupati Malang RK Akhirnya Bebas Bersyarat

23 April 2024 - 16:37 WIB

Pelantikan ASN Sidoarjo Cacat Prosedur, Sekda : Saya Mohon Maaf

23 April 2024 - 16:15 WIB

Tabrak Mobil Tronton, Suami Istri Pengendara Honda Vario Meninggal Dunia

23 April 2024 - 15:42 WIB

Trending di HUKUM & KRIMINAL