“Sebelumnya saya sempat merawat anak-anak kecil, tapi sekarang sudah tidak kuat lagi karena sudah tua. Sekarang hanya pijat, kalau ada orang yang memanggil,” katanya.
Sumirah mengaku tidak membandrol biaya pijat alias seikhlasnya, berapapun ia terima dari pelanggannya demikian juga dengan merawat anak-anak kecil. Kadang ia mendapat honor Rp30 hingga Rp50 ribu sekal pijat dan menjaga anak.
Sumirah mengaku sedih, dirinya belum pernah mendapat perhatian dari Pemkot Surabaya, baik itu berupa sembako maupun uang tunai. Selama ini dirinya hidup apa adanya, sesekali mendapat belas kasih para tetangga sekitar.
Untuk membayar sewa kamar kos pun, ia mengaku juga sesekali berjualan makanan ringan, seperti keripik dan mie instan. Ia mengaku tidak punya uang cukup untuk membeli bahan makanan. “Tapi Alhamdulillah, hasil pijat dan jual makanan ringan dan bantuan para dermawan, bisa buat makan seharo-hari dan bayar kos Rp250 ribu per bulan,” ujarnya.
Selama pandemi covid-19, baik saat PSBB maupun PPKM saat ini, ia gigit jari melihat tetangganya mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, Sumirah sudah pernah mengajukan, baik melalui RT/RW, Kelurahan hingga Kecamatan setempat. Namun tanpa hasul, dan tak tahu menahu alasan detil mengapa dirinya tak pernah mendapatkan bantuan tersebut.
“Tidak pernah, saya tidak pernah dapat bantuan. Saya sudah tanya RT/RW, katanya ndak ada jatahe (jatahnya), bilangnya begitu ke saya,” ujarnya.
Mirisnya lagi, Sumirah mengaku dirinya juga tak pernah didata oleh Kelurahan, Kecamatan, maupun petugas dari Pemkot Surabaya lainnya. Padahal Sumirah mengaku sudah menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan, seperti fotocopy KTP, KK, hingga SKTM. Namun, masih juga tak kunjung mendapatkan bantuan.
“Pernah tanya ke Pak RT, saya kok belum dapat bantuan apa-apa, Pak?. Dia bilangnya belum ada jatahnya, sampai sekarang belum ada kabar apa-apa, belum dapat apa-apa sama sekali,” katanya.
Sumirah lantas mempertanyakan, apa sebenarnya yang membuat dirinya tak kunjung mendapatkan bantuan. Padahal, data yang diperlukan, sudah diserahkan kepada pihak terkait. Mulai dari Permakanan, PKH, hingga Bansos yang semestinya diperoleh, justru nihil.
“Saya sampai pernah bilang ke RT RW, ‘Pak, saya mau tanya, apa saya ini gelandangan? kok sampai tidak didata?’. Lalu diminta KTP lagi, tapi ya begitu aja tidak ada kabar apa-apa lagi,” ujarnya.
Sumirah mengaku sedih ketika melihat tetangga dan warga lain mengantre bantuan dari pemerintah. Sesekali, ia hanya memandangi, sembari menyematkan puji syukur lantaran masih diberi kesehatan. “Belum pernah juga disenggol mendapat kabar, saya lihat orang-orang ambil beras dan duit, hati saya menangis nak,” katanya. (Amal Insani)