Oleh: Yoyok Amirudin
OPINI, Lingkarjatim.com – Ada ratusan spesies kopi di tanah bumi pertiwi ini. Ini menandakan keanekaragaman kopi di Nusantara luar biasa. Berbeda-beda macam bentuk dan karakternya tapi tetap dalam satu rumah, dan rumah itu bernama KOPI. Saking uniknya kopi, setengah abad yang lalu ada Ulama Indonesia dari Kediri Syech Ihsan Jampes melakukan research besar-besaran tentang kopi dan rokok. Nama kitab itu Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan, mungkin itu satu-satunya kitab berbahasa arab di dunia yang menjelaskan dengan gamblang apa itu kopi dan rokok. Penelitian Syech Ihsan mengulas hukum mengkonsumsinya, sejarah kopi dan rokok, serta kemanfaatan dan kemudhorotan bila mengkonsumsinya. Bila ingin detail silahkan baca sendiri kitabnya yang sudah diterjemahkan Bahasa Indonesia. Judulnya kitab kopi dan rokok.
“Nggak ngopi, nggak gaul”. “Nggak ngopi gak bisa mikir”. “Tidak ada kopi, hidup jadi sepi”. Kalimat Itu semua muncul efek dari secangkir kopi. Kopi mengajarkan persaudaraan. Kopi rela menghilangkan kepahitannya demi kesenangan orang lain. Gula menghilangkan kemanisannya demi kepuasan seseorang. Melebur menjadi satu untuk ketrentaman dan kenyamanan bagi siapa yang meminumnya. Manusia harus belajar dari situ, mengobarkan dirinya untuk kesenangan orang lain. Melepaskan predikat kekayaan untuk mengentaskan kemiskinan dilingkungannya. Melepaskan ke-ego-annya untuk kebersamaan. Bukankah Allah telah melukiskan firmanNya dalam surah nomor 5:2, 8:27, 18:19, 3:110 tentang taawun (tolong-menolong). Al Maidah ayat 2 “dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan”. Kopi membantu proses percintaan seseorang antara suami istri. Kopi menyejukkan para politisi dikala politik mencekam. Kopi menjadi mediator antara Aung San suu Kyi dengan Retno Marsudi. Kopi pun menjadi mediasi antara Presiden Jokowi dengan PBNU yang diwakili KH. Said Aqik Siradj dalam penekanan perpres no. 87/2017 tentang penguatan karakter, dan menghapus kebijakan full Day School. Penulis berharap kedepan kopi menjadi penyemangat jiwaku yang patah karena ditinggal Raisa menikah.
Sampai kapanpun kopi tidak akan mengubah dirinya jadi manis atau asam, tetap dalam koridor undang-undang kopi yang sudah termaktub di singgasana Allah, bahwa Allah menciptakan kopi berasa pahit. Kopi tidak akan berani melawan hukum Allah, mau berubah jadi lombok, berubah jadi garam, berubah jadi gula. Ibrah yang bisa diambil dari kopi ini adalah sikap istiqomah selalu konsisten apa yang ia yakini. Tidak seperti bunglon, Subuh NU, tarawih wahabi, bilangnnya anti selamatan, pas diberi berkat diterima. Bilangnya demokrasi toghut, tapi makan nasi Indonesia, KTP Indonesia, bahkan kencingpun di Indonesia. Kata Sastrawan Madura Kyai D. Zawawi Imron “kita sholat di atas sajadah bumi Indonesia, dan suatu saat dikubur dalam pelukan bumi Indonesia”. Bilangnya hukum di Indonesia harus ditegakkan, pas kena kasus melarikan diri. Contohlah istiqomahnya NKRI. Sejak zaman Bung Karno sampai Pak de Jokowi, dan sampai cucu-cucunya Indonesia akan istiqomah seperti keistiqomahnya kopi dalam menjaga dirinya terasa pahit.
Kok pakai Islam, penulis menghubung-hubungkan sifat karakteristik kedalam ajaran Islam, lebih-lebih Islam Nusantara.
Masih banyak yang harus diungkap karakter kopi sebagai pemersatu bangsa. Emang bisa? Kata presiden Jancukers Sujewo Tejo dalam bukunya Balada Gathak Gathuk, mengganthuk-gathukan yang tidak gathuk.
Walaupun berbeda–beda rasa kopi, kopi Toraja, kopi Jawa, kopi Lanang, kopi Luwak, kopi wamena dan kopi lainnya tetap dalam cita rasa satu yaitu Kopi Islam Nusantara.
Surabaya, 8 September 2017
Sesudah baca, jangan lupa sruput kopine.