Menu

Mode Gelap

KELAKAR · 10 Aug 2017 11:41 WIB ·

KETIKA AGAMA PERLU DIBELA


KETIKA AGAMA PERLU DIBELA Perbesar

Reaktualisasi Pemikiran Gus Dur di Tengah Perbedaan Kepentingan Masyarakat Terkait Kasus Penistaan Agama Ahok dan SBY

Oleh: Alfiatul Khairiyah

OPINI, Lingkarjatim.com – Indonesia adalah negara yang Istimewa karena keberagaman yang dimilikinya, mulai dari budaya, agama, suku, dan etnis. Islam, Hindu, Budha, dan Kristen. begitu juga dengan etnis, terdapat etnis Jawa, Madura, Batak, Betawi, dan lainnya, dimana setiap etnis memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini menjadi pembeda Indonesia dengan negara lainnya. Keberagaman Indonesia merupakan sebuah anugerah yang perlu disyukuri dan menjadikannya sebuah kekuatan bagi Indonesia. Keanekaragaman Budaya misalnya, berpotensi menarik wisatawan mancanegara datang ke Indonesia. Hal ini berdampak positif terhadap kemajuan Indonesia.

Namun, realitanya keberagaman Indonesia malah menjadi sebuah penghalang untuk berkarya, penghalang dalam kebebasan berpendapat, dan otomatis keberagaman menjadi penghalang berkembangnya masyarakat Indonesia. Apalagi menyangkut perbedaan Agama yang sangat sensitif sekali, saat perbedaan dijadikan sebuah senjata untuk merebut kekuasaan dan lainnya.

Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh calon gubernur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama (Ahok) akhir-akhir ini misalnya, merupakan sebuah contoh nyata bagaimana keberagaman agama menjadi senjata perpecahan rakyat Indonesia. Sehingga, muncullah aksi damai pada tanggal 4 November 2016 kemarin di Jakarta. Tidak hanya itu, masih banyak lagi kasus-kasus lainnya tentang perpecahan rakyat disebabkan keberagaman khusunya Agama.

Oleh karena itu, konsep pemikiran Gus Dur tentang pluralisme perlu diaktualisasikan kembali. Terutama dalam aspek agama agar kemudian di internalisasikan ke dalam diri masing-masing individu atau kelompok. Karena terdapat banyak kebijakan-kebijakan Gus Dur yang bersifat provokatif mengenai toleransi dan menghargai setiap perbedaan. Banyaknya kasus perpecahan di Indonesia menunjukkan bahwa pernyataan Gus Dur masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Beberapa hari terakhir Indonesia digemparkan oleh permasalah penistaan Agama yang dilakukan oleh Basuki Cahya Purnama (Ahok) salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Perkataan Ahok mengenai Surat Al-Maidah kemudian menciptakan sebuah Aksi besar-besaran pada 4 November 2016 yang digadang-gadang sebagai aksi damai oleh umat muslim. Namun, setelah aksi damai terjadi, permasalahan terus berlanjut dan beralih pada kasus istilah “lebaran kuda” yang dilontarkan mantan presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika SBY melakukan jumpa pers di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, Rabu (2/11/2016), bersama para elite Demokrat beliau mendesak hukum segera memproses kasus Ahok terkait penistaan Agama agar masyarakat tidak terus menerus Demo (Kompas.Co). Ucapan yang dilontarkan SBY berbunyi “Barangkali karena merasa yang diprotes itu dan tuntutannya itu tidak didengar, kalau sama sekali tidak didengar diabaikan, sampai lebaran kuda bakal ada unjuk rasa”.

Dari perkataan SBY yaitu lebaran kuda menciptakan sebuah sindiran dari pihak Ahok pada SBY. Melalui perkataan Ahok di Markas Pemenangan Ahok Djarot saat melayani keluhan warga Jakarta “kalau dibilang lebaran kuda, lebaran juga milik orang Islam. Itu bukannya menghina agama?” (Tempo.co Rabu 16 November 2016). Sehingga, permasalahan penistaan agama menjadi trending topic di berbagai media, baik media cetak, media sosial, dan maupun televisi. Masalah penistaan agama di kalangan tokoh kemuka Indonesia ini sedikit banyak pasti memiliki pengaruh terhadap masyarakat, apalagi terhadap pendukung keduanya. Hal ini berpotensi menciptakan perpecahan masyarakat Indonesia.

Jika dianalisis satu persatu maka sebenarnya penistaan agama ini tidaklah seperti yang dilihat secara parasnya saja. Pertama, analisis terkait aksi 4 November 2016. Pihak Ahok mengatakan bahwa aksi damai tersebut terjadi atas dasar rencana dari pihak SBY yang membayar masyarakat. Dapat dilihat dalam Koran republika online edisi 22 November terkait tudingan pihak Ahok terhadap SBY mengenai aksi 4 November hanyalah aksi bayaran saja yang dibayar Rp.500 ribu.

Kedua, terkait perkataan SBY mengenai lebaran kuda. Sebenarnya, kata lebaran kuda tidak hanya dilontarkan SBY saat mengkritik proses hukum terkait kasus Ahok. Tapi istilah Lebaran Kuda sudah digunakan SBY sejak 2010. Ketika itu SBY mengomentari persepakbolaan Indonesia. “Kalau tidak ada langkah konkret, sampai Lebaran kuda, kita punya sepak bola begini terus,” (KOMPAS.Com. 05 Juli 2010). Kemudian, istilah ini juga dilontarkan Prijanto saat mengkritik kedisiplinan masyarakat. “Selama kekeliruan yang terjadi dibela terus, sampai Lebaran kuda, disiplin tidak akan terjadi di masyarakat. Cari makan, ya cari makan jangan di perempatan. Dirikan rumah jangan di tanah orang. Selama masih ada yang membela tindakan seperti itu, susah,” ujar Prijanto tentang berbagai kesemrawutan yang terjadi (KOMPAS.Com. 25 Juni 2010).

Kemudian, istilah lebaran kuda kembali disinggung saat ini. Lalu mengapa hanya saat ini yang menjadi topik hangat dan permasalahan? Jawabannya tidak lain adalah sebab permainan politik diantara keduanya (Ahok dan SBY). Kedua permasalahan tersebut (penistaan agama yang dituju kepada Ahok dan SBY) muncul bersamaan dengan proses pencalonan Gubernur DKI Jakarta oleh Basuki Djahaya Purnama (Ahok) dan Anak SBY Agus Harimurti Yudhoyono. Jika dilihat dari permasalahan yang terjadi bahwa kompetisi dalam pencalonan Gubernur antara Ahok dan Agus memiliki peran terhadap berkembangkanya konflik atas nama penistaan Agama nyaris terseret pada wilayah yang bersifat politis sekali saat ini. Membawa-bawa nama Tuhan Yang Maha Esa untuk melegitimasi suatu kelompok. Jika dianalisis lebih lanjut mengenai perkataan Ahok yang juga menuntut kata lebaran kuda sebagai penistaan agama maka tidak lain hanyalah sebagai bentuk pembelaan dirinya terkait kasus penistaan agama yang kemudian menimbulkan aksi demo 4 November 2016. Dari sini dapat dilihat bahwa perbedaan Agama dijadikan sebagai senjata untuk membunuh kemanusiaan satu sama lainnya. Karena permasalahan ini tidak lain merupakan motif politik belaka yang dapat dianalisis permasalahannya satu-persatu.

Sosok yang selama ini diberi julukan Bapak Pluralisme oleh masyarakat memiliki kontribusi basar terhadap Indonesia. Beberapa pemikiran dan kebijakan Gus Dur selalu mengusung tema keragaman dan toleransi terhadap perbedaan atau keberagaman bagi semua masyarakat Indonesia. Karena pada masa kepemimpinan Gus Dur terjadi perpecahan di dalam tubuh rakyat akibat perbedaan baik ras maupun agama. Hingga sampai saat ini, Gus Dur banyak menempati posisi yang istimewa dihati rakyat Indonesia walaupun tidak sedikit masyarakat yang kontra terhadap pemikirannya.

Salah satu pemikiran Gus Dur yang kontroversial adalah pernyataannya bahwa “Tuhan tak perlu di bela”. Yang diartikan bahwa kebenaran, kekuasaan, dan keabsolutan memang telah mutlak dimiliki oleh Tuhan. Karena Tuhan dengan sendirinya memiliki Keesaan, Kesucian, dan Keagungan Dalam konsep ini Gus Dur sudah meyakini bahwa akan ada banyak tindakan nantinya yang mengatasnamakan Agama sehingga muncullah sebuah pemikiran bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Kalimat ini muncul dari Gus Dur tidak lain karena Gus Dur menganggap bahwa sebuah perbedaan yang tidak dilandasi dengan rasa nerima merupakan malapetaka yang nantinya mampu membuat perpecahan rakyat..

Mukti (2014) mengutip dari Wahid (2014) Menurut Gus Dur pluralisme maupun multikulturalisme bukanlah ide yang menyatakan semua Agama sama dengan ajaran/aqidah yang dianut. Namun, kita semua menyadari dan mengakui, bahwa setiap Agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. Karena perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecah-belahan adalah sebuah malapetaka.

Jadi, inti pemikiran Gusdur adalah bagaimana rakyat mampu toleran terhadap perbedaan, baik Agama, Ras, dan pendapat. Apalagi dalam negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Dimana, kebebasan untuk melontarkan pendapat dapat didapat setiap orang. Hal ini memicu terjadinya pertenantang dikalangan masyarakat tertentu yang kemudian berpotensi menciptakan perpecahan. Selain itu, Gus Dur selalu mengatakan bahwa perbedaan jika diterima dengan baik akan menjadi sebuah kekuatan bagi bangsa “Bukankah dengan demikian jelas bagi kita bahwa menerima perbedaan pendapat dan asal muasal bukanlah tanda kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan” (Abdur Rachman Wahid). Jadi, konsep pluralisme Gus Dur dimulai dari pentingnya perbedaan didalam masyarakat yang dianggap sebagai fitrah dan anugerah yang patut dijadikan bahan sebagai kekuatan.

Dari berbagai pemikiran Gus Dur di atas, jelas sekali bahwa konsep tersebut masih relevan hingga saat ini. Apalagi jika dikaitkan dengan permasalahan atau kasus penistaan Agama yaitu konflik Ahok dan SBY yang selalu membawa nama agama dimeja politik. Maka pemikiran Gus Dur menjadi penting lagi untuk diaktualiasasikan dikalangan masyarakat. Terutama konsep mengenai “tuhan tak perlu di bela”. Karena permasalahan ini nyaris hanya menjadikan Agama sebagai topeng dan umpan untuk saling menjatuhkan satu sama lain.

Dalam kenyataan sejarah, agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Konteks yang sedemikian lalu menyeret agama ke suatu wilayah yang cukup politis: ia menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok. Nama Tuhan, yakni “Sang Penguasa Agama”, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan (Harian Kompas, 7 November 1999).

Sama halnya dengan kaus Ahok dan SBY. Sebenarnya, permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan yang sarat akan politik. Jika nilai-nilai agama direspon dengan tindakan tidak dewasa seperti demo atau aksi maka akan menciptakan sebuah perpecahan. Sebab sejatinya, Tuhan adalah Maha Suci, Maha Kuasa, dan Maha Esa dengan sendirinya. Namun, ada yang perlu digaris bawahi dalam pemikiran Gus Dur mengenai Tuhan tak perlu dibela bahwa konsep ini lahir Karena keyakinan Gus Dur bahwa akan ada sebuah kondisi diamana Masyarakat akan membawa nama Agama demi sebuah kepentingan mereka sendiri.

Oleh karena itu, perlu adanya reaktualisasi pemikiran Gus Dur. Sebagai bahan introspeksi bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Agar permasalah atau kasus penistaan Agama yang terjadi pada calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama tidak semakin berlarut-larut dan tidak menimbulkan perpecahan yang semakin menjadi. Mengingat bahwa negara Indonesia merupakan negara yang demoktratis. Kebebasan menyampaikan pendapat dapat dirasakan oleh semua orang. Hal ini seperti dua sisi mata pisau, disatu sisi demokrasi akan menunjang kesejahteraan rakyat karena terserapnya aspirasi, dan disisi lain demokrasi malah berpotensi menciptakan perpecahan.

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Didukung Tokoh dan Ulama, KH Makki Nasir Mantap Maju Ketua PWNU Jatim 

26 July 2024 - 12:46 WIB

Bersumber dari DD, PJU di Desa Banyumas Telan Anggaran Ratusan Juta

26 July 2024 - 10:13 WIB

Pemkab Sidoarjo Janji Jembatan Kedungpeluk Segera Dibangun

24 July 2024 - 19:27 WIB

Meninggal 2023 Lalu, Makam Warga di Sampang Dibongkar

24 July 2024 - 14:41 WIB

Pemecatan Dianggap Diskriminatif, Fathur Rosi Gugat Lima Instansi Sekaligus

23 July 2024 - 13:04 WIB

Pembangunan Taman Desa Banyumas Habiskan Ratusan Juta, Kondisinya Memprihatinkan

23 July 2024 - 08:40 WIB

Trending di LINGKAR DESA