GONJANG GANJING REZIM PEMILU

 

Oleh : Jamil, S.H., M.H.*

OPINI, Lingkarjatim.com – Pemilihan umum di Indonesia terdiri dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD. Jenis pemilihan ini dikatagorikan ke dalam rezim Pemilu. Selain jenis pemilihan yang terkatagorikan ke dalam rezim pemilu, masih ada jenis pemilihan umum yang lain yaitu pemilihan gubernur dan wakili gebernur, pemilihan bupati dan wakil bupati dan pemilihan walikota dan wakil walikota. Jenis pemilihan ini dikatagorikan kedalam rezim Pilkada.

Perbedaan rezim pemilihan di atas, berimplikasi pada banyaknya perbedaan sistem kepemilihan diantara kedua rezim tersebut, diantaranya adalah perbedaan sistem penyelesaian sengketa hasil pemilu. Sengketa rezim pemilu menjadi kompentensi absolutnya mahkamah konstitusi sedang sengketa dalam rezim pilkada menjadi kompetensi absolutnya Mahkamah Agung. Hal ini telah berjalan selama tahun 2004 hingga tahun 2008.

Pada Rabu, 29 Oktober 2008, ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Ketua Mahkamah Agung (MA) menandatangani pengalihan wewenang memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dari MA ke MK (Janedjri M. Gaffar, 2012). Peristiwa hukum tersebut terjadi demi menjalankan amanah Pasal 236C UU. 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Sejak berlakunya UU 12 Tahun 2008 ini, MK menjadi rujukan utama para pencari keadilan yang merasa kekalahannya dalam pilkada dicurangi oleh lawannya dan sejak itu pula istilah Pilkada menjadi pemilukada dengan alasan bahwa rezim pilkada telah menyatu dengan rezim pemilu.

Melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi menganulir kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu untuk pemilihan kepala daerah, dengan alasan kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu yang diberi oleh undang-undang 32 tahun 2004 tersebut bertentangan dengan konstitusi. Namun demikian pasal 157 UU No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang, kembali memberi amanah pada MK untuk tetap mengadili sengketa hasil pemilu selama belum terbentuk badan peradilan khusus.

Berdasar pada diskripsi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rezim pilkada merupakan rezim pemilihan yang berbeda dengan rezim pemilu sehingga rezim pilkada mempunyai aturan yang mandiri yang tidak dapat dicampur aduk dengan undang-undang pemilu. Hal ini semakin jelas dengan adanya dua undang-undang pokok kepemiluan yakni Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang yang menjadi dasar utama pelaksanaan pemilihan diranah rezim pilkada dan undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar utama pelaksanaan pemilihan diranah rezim pemilu. Penyelesaikan sengketa hasil pilkada yang tetap melekat pada Mahakamah Konstitusi hanyalah kewenangan transisi hingga terbentuknya Badan Peradilan Khusus. Oleh karena itu wewenang MK tersebut tidak menggugurkan rasio adanya dua rezim dalam rezim pemilihan. Dengan demikian pelaksanaan pilkada tunduk pada UU No. 10 tahun 2016 termasuk komposisi badan adhoc dibawah KPU dan pelaksanaan pemilihan PRESIDEN, PILEG dan P.DPD tunduk pada UU No. 7 Tahun 2017.

*Penulis adalah Anggota Panwas Kabupaten Sidoarjo

Leave a Comment