Bedah Program La Nyalla: UMK Buruh, Kurangi Pengeluaran Rutin

La Nyalla M Mattalitti

JAWATIMUR, Lingkarjatim.com – Setiap tanggal 1 Mei, kita pasti melihat rutinitas aksi buruh di peringatan Mayday. Maklum, selain aksi ini berlangsung global, di hari itu buruh juga libur kerja. Nah, di hari itu, kita juga hampir pasti mendengar tuntutan kenaikan upah dari organisasi buruh.

Kenaikan upah buruh memang keniscayaan. Seiring laju inflasi yang pasti. Angkanya tidak signifikan bagi buruh. Tapi bagi pengusaha menjadi signifikan. Karena itu kita selalu melihat silang sengkurat perdebatan antara asosiasi para buruh dan asosiasi pengusaha.

Memang, kenaikan upah di kisaran angka Rp. 500 ribu atau satu juta dianggap tidak signifikan oleh buruh. Karena toh sekali terjadi inflasi kebutuhan pokok, angka itu seolah hilang ke laut. Sebaliknya bagi pengusaha, satu juta rupiah dikalikan jumlah buruhnya yang ribuan adalah angka yang fantastis.

Belum lagi komponen pembiayaan untuk buruh. Faktanya bukan cuma upah. Tetapi juga iuran asuransi tenaga kerja. Jaminan uang pensiun. Tambahan lembur. THR dan lainnya. Total bisa menjadi 25 sampai 35 persen dari whole-cost.

Bila cost itu terus bergerak menembus 35 persen, menjadi sangat rawan. Pengusaha akan give up dan hengkang. Atau menempuh jalan otomasi industri. Dan kita tahu otomasi industri membawa konsekuensi mengurangi tenaga manusia. Karena digantikan mesin.

Padahal otomasi industri adalah persoalan kita berikutnya di tahun-tahun mendatang ini. Karena ini pasti akan terjadi. Seiring inovasi permesinan dan teknologi.

Lantas dimana pemerintah? Rupanya selama ini dalam persoalan buruh, khususnya terkait UMK/UMP, pemerintah memilih menjadi mediator. Memfasilitasi forum tripartit. Pemerintah, buruh dan pengusaha. Untuk kemudian menyepakati angka. Setiap tahun akan selalu begitu.

Bakal Calon Gubernur Jawa Timur, Ir. H. La Nyalla Mahmud Mattalitti punya pandangan berbeda soal ini.

Bagi La Nyalla, dalam kacamata Keadilan Sosial dan pengentasan Kemiskinan, buruh adalah kelompok masyarakat yang meskipun produktif, tetapi masih tetap dalam koridor masyarakat miskin. Karena itu, APBD harus juga menyapa mereka.

Mengapa buruh masuk dalam kategori masyarakat miskin? Karena meskipun produktif, buruh masih tetap kesulitan untuk melakukan saving dan investasi. Sekali terkena “musibah”, bisa tiba-tiba menjadi sangat miskin. Karena penghasilan dan pengeluaran mereka impas.

Mengapa? Karena pengeluaran mereka juga besar. Kebanyakan buruh tinggal di tempat yang terpisah dari pabrik. Sehingga membutuhkan transportasi. Baik publik maupun privat; biasanya sepeda motor. Rumah tinggal mereka kebanyakan sewa. Sehingga dana dikeluarkan setiap bulan hanya untuk bayar sewa. Tanpa ada peluang untuk memiliki hunian itu.

Buruh yang sudah berkeluarga juga makin kompleks persoalan yang dihadapi. Biaya keperluan pendidikan anak. Meskipun SPP bisa gratis, tetapi pengeluaran start up ketika pendaftaran siswa baru, fakta; ada biaya yang diperlukan. Mulai dari sekadar beli tas, perlengkapan, sepatu dan lain-lain.

Item pengeluaran itu bisa dirinci. Pemerintah juga bisa mendata, buruh yang sudah memiliki anak dengan yang belum. Semua bisa dengan mudah didata dengan kemampuan akses pemerintah. Sehingga dari total 2,9 juta buruh di Jatim, bisa dipetakan.

Untuk apa? Di sinilah gagasan La Nyalla. Pemerintah harus hadir.

Kita memiliki kawasan industri yang sudah dan sedang disiapkan. Mulai dari kawasan industri di Surabaya (SIER), Pasuruan (PIER) dan kota/kabupaten lainnya se-Jatim. Tetapi tidak ada satupun di kawasan industri itu dibangun rusun buruh.

Padahal kalau pemerintah membangun rusun di situ, kemudian melengkapi dengan fasum dan kendaraan shuttle gratis ke pabrik-pabrik di dalam kawasan itu, akan sangat membantu mengurangi pengeluaran buruh.

Apakah pemerintah tidak mampu membangun rusun? Apakah pemerintah tidak bisa mengajak REI untuk mewujudkan hal itu? Tentu mampu asal mau. Atau apakah pemerintah tidak mampu menyediakan bus buruh gratis? Angkanya bisa dengan mudah dihitung dan tidak besar.

Begitu pula dengan mudah pemerintah bisa memberikan bantuan tahunan untuk start up pembiayaan pendidikan anak-anak buruh.

Balai-balai latihan kerja harus diubah orientasinya untuk memberikan peningkatan skill buruh dalam menghadapi era otomasi. Harus mampu mengoperasikan interface-interface yang terdapat di mesin-mesin baru yang akan bertengger di pabrik-pabrik mereka.

Semua upaya harus dilakukan pemerintah untuk memberikan hasil akhir dua hal penting: Pertama, mengurangi beban pengeluaran buruh. Kedua, memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha.

Inilah keadilan sosial dan upaya mengurangi kemiskinan.

Nantikan tulisan bedah program La Nyalla lainnya. (Red)

Leave a Comment