Mewujudkan Politik Meritokrasi Pada Pilgub Jatim

Oleh: Citra Oktavia Mochtar*

OPINI, Lingkarjatim.com – Pemilihan Gubernur Jawa Timur sangat berbeda dengan pemilihan di daerah lain, sebab aktor atau kontestannya tetap sama yaitu Khofifah Indar Parawansa dan Syaifullah Yusuf. Dua tokoh ini adalah sama-sama icon dan publik figur yang sangat disegani, sama-sama lahir dari pesantren dan golongan aktivis sejak mahasiswa, keduanya pernah dipercaya menjadi menteri yang dikenal sangat berprestasi.

Track record keduanya dalam panggung politik sudah tak diragukan lagi, sama-sama cemerlang, keduanya bisa dibilang akademisi yang politisi, sehingga tak pelak jika keduanya kembali berkontestasi dalam Pilgub Jawa Timur, bedanya era sebelumnya Syaifullah Yusuf menjadi Cawagub dan Khofifah Indar Parawansa hingga pemilihan ketiga kali ini posisinya tetap menjadi Cagub. Tak pelak bila aktivis muslimat NU ini dikenal dengan petarung yang handal dalam panggung politik, ghiroh untuk mengabdi terus menyala pun dari berbagai hasil survey tidak ada satupun tokoh di Jatim yang elektabilitasnya menandingi kedua tokoh tersebut. Ini sebagai bukti dan legitimasi bahwa keduanya sangat layak menyandang gelar publik figur atau role model di Jatim.

Khofifah Indar Parawansa ketua PP Muslimat NU hingga saat ini dan Syaifullah Yusuf mantan ketua PP Pemuda Ansor artinya keduanya lahir dari tubuh Ormas terbesar di negeri ini yaitu Nahdlatul Ulama’. Kecintaan keduanya terhadap NU sangat besar dan ini dibuktikan setiap momen tidak jarang keduanya menggunakan karakteristik Islam yang sangat berkelindan dengan NU misalnya “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholeh wal akhdzu bil jadidil ashlah,” memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Berpijak dari realitas tersebut, yang menjadi problem dan pertanyaan krusial adalah bisakah keduanya mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur yang berkualitas sebagaimana asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Bebas menunjukkan bahwa masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih tanpa ada intervensi dari siapapun apalagi pemaksaan yang bertentangan dengan hati nuraninya yang belakangan masih banyak terjadi dilingkungan kita, rahasia berarti siapapun tidak boleh tahu apa pilihannya, jujur berarti selama proses pemilihan menggunakan cara-cara yang baik tanpa ada kamuflase untuk mengelabui publik, yang terakhir adalah adil, adil disini berarti tanpa melihat suku, agama, ras, dan antargolongan. Semua diperlakukan sama tak ada diskriminasi sedikitpun. Pertanyaan berikutnya, sudahkah itu direalisasikan?

Politik Sublimasi

Harus diakui bahwa asas pemilu tersebut dalam konteks Jawa Timur masih belum dilaksanakan secara baik dan ini dibuktikan beberapa kali pemilihan gubenur dan wakil gubernur tahun 2008-213 ditemukan pelanggaran dan kecurangan mulai dari keterlibatan aparat desa, petugas TPS, dan para elit politik terutama di daerah tapal kuda sehingga kecurangan ini harus diselesaikan di kursi Mahkamah Konstitusi (MK) (Viva, 2/2/14). Begitupun selama ini kedua cagub masih sering menjual nama-nama kiai pengusungnya pun masih sering mengutarakan nama-nama tokoh sebagai kekutan politik.

Maka, tak heran bila masyarakat terutama pemuda atau dalam kontek kehidupan sekarang generasi melenial banyak yang apolitik. Salah satu penyebabnya, menurut hemat penulis adalah maraknya politik sublimasi. Politik sublimasi menurut Masdar Hilmy (2016) adalah sebuah taktik dan strategi politik untuk mengalihkan mata publik dari sesuatu yang sesungguhnya (subtansi) menuju sesuatu yang semu, palsu, dan menipu. Sesuatu yang palsu itu bisa berupa ketidakmampuan melakukan hal-hal yang semestinya atau terdapat tendensi untuk menutupi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada.

Misalnya, tahun 2017 munculnya gerakan 212 dan tamasya Al-Maidah untuk menumbangkan Ahok. Dan tahun 2018 ini muncul hastag #2019 ganti presiden, yang ditengarai sebagai gerakan politik oposisi untuk menumbangkan politik Joko Widodo pada tahun 2019. Itu semua adalah politik sublimasi yang bermuara pada politik identitas yang sangat bertentangan sekali dengan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, sebab Indonesia tidak didirikan berdasarkan SARA apalagi mempolitisasi agama yang sakral hanya untuk hasrat kekuasaan yang profan dan itu sangat tidak dibenarkan karena sama sekali tak beradab.

Politik sublimasi atau dalam perspektif lain merupakan strategi pengalihan issu untuk sekedar meningkatkan elektabilitas partai atau calon yang diusungnya dan inilah salah satu penyebab yang membuat demokrasi tidak kunjung subtantif. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi dari rakyat (overment of te people), ole rakyat (by te people) dan untuk rakyat (for the people) harus direalisasikan sebab bila semua itu direalisasikan akan mewujudkan demokrasi subtantif dan kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat bukan berada pada kaum elitis.

Demokrasi subtantif adalah memberi tempat kepada seluruh lapisan masyarakat mulai dari rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, golongan minoritas, keagamaan dan etnik, untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di sutu negara dengan sungguh-sungguh menjalankan agenda kerakyatan, bukan sekedar agenda demokrasi atau agenda politik partai semata. Sebagaimana dijelaskan dalam asas pemilu terutama asas kejujuran dan keadilan yang menjadi ruh dari demokrasi itu sendiri.

Politik Meritokrasi

Menurut hemat penulis untuk menghindari politik sublimasi tersebut sebagai solusi yang solutif sudah saatnya Jawa Timur menyongsong Pilgub 2018 ini membangun kulkur politik yang bermartabat, salah satu kultur politik yang bermartabat tersebut adalah politik meritokrasi.

Istilah meritokrasi ini pertama diperkenalkan tahun 1958 oleh M. Young, seorang sosiolog Inggris, dalam novel, The Rise of Meritocracy. Meritokrasi adalah konsep yang digunakan dalam ilmu politik untuk menandakan suatu masyarakat yang diperintah oleh suatu pemerintahan dari orang-orang yang dipilih atas dasar jasa-jasa, kemampuan, dan prestasinya.
Oleh karena itu, Pilgub Jawa Timur harus menjadi lokomutif prubahan untuk mewujudkan pemilihan yang berkualitas dan memilih pemimpin berdasarkan jasa, prestasi dan gagasan-gagasan programnya. Sebab, Jawa Timur salah satu pusat peradaban Indonesia yang sangat menentukan bagaimana arah dan masa depan Indoensia. Maka, pilihnya pemimpin yang berjasa dan berprestasi dan mau mengabdi untuk kejayaan negeri.

*Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Unair, Surabaya

Leave a Comment