Mengkaji Gagasan Presiden Kembali Dipilih MPR

Oleh: Jamil SH, MH

Rencana amandemen UUD 1945 yang kelima, menjadi pembicaraan hangat dibanyak kalangan. Awalnya, urgensi dalam melakukan amandemen UUD 1945 tersebut adalah untuk memasukkan perumusan haluan bernegara kedalam salah satu wewenang MPR.

Namun dalam perjalanannya muncul banyak issu anyar diluar urgensi haluan Negara, dianataranya adalah presiden tiga kali periode, satu kali periode dalam 8 tahun serta presiden dipilih MPR.  

Gagasan presiden dipilih MPR pertama kali muncul dari ketua PBNU disaat ketua MPR bersilaturrahmi ke Kantor PBNU.

Gagasan tersebut muncul karena pemilu presiden secara langsung oleh rakyat banyak mengalami dampak negative (mudorrot/mafsadat) oleh karenanya demi menghindari mudarrot tersebut, PBNU melontarkan wacara pemilihan presiden oleh MPR.  

Tulisan ini tidak dalam rangka menbanding-bandingkan dampak mudarrot yang ditimbulkan antara pemilihan presiden langsung dengan pemilihan presiden oleh MPR.

Karena kalau pedebatannya seputar kalkulasi mudorrot dan maslahat sulit untuk dicari titik temunya, karena masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Tulisan ini hanya ingin melihat dari aspek ketatanegaraannya saja, meskipun bukan berarti tidak memiliki dampak mudorrot atau maslahat tetapi dampaknya tidak secara langsung, begitu kira-kira.

Tulisan ini sebenarnya tidak murni pemikiran penulis tetapi diinspirasi pendapat Priyatmoko salah satu dosen ilmu politik Unair saat berdiskusi di salah satu hotel di Surabya, penulis hanya memodifikasi dalam kontek yang sedikit berbeda.

1. Aspek Kedaulatan Rakyat

Dalam hal pemilihan presiden dipilih oleh MPR, maka Pasal dalam UUD 1945 yang harus dikembalikan (diamandemen) adalah Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Pasal tersebut kembali pada bunyi sebagaimana sebelum dilakukan amandemen yaitu “ Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Implikasi dari kembalinya bunyi pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kepada bunyi sebelum amandemen adalah 1) kembalinya posisi MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dan 2) adanya kedaulatan rakyat yang semu.

Kenapa dikatakan semu ? karena dalam konstruksi pasal 1 UUD 1945 sebelum amandeman rakyat tetap dinyatakan berdaulat tetapi rakyat tak pernah dikasih kepercayaan untuk melaksanakan kedaulatanya sendiri.

Kedaulatan rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh lembaga tertinggi Negara bernama MPR yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili (merefresentasikan) rakyat.

Jika demikian logikanya, benarkah rakyat itu berdaulat ataukah hanya berdaulat di atas kertas saja tanpa pernah menjadi kenyataan ?   

2. Aspek legitimasi MPR

Sebagaimana dijelaskan diatas, MPR dalam konstruksi UUD 1945 sebelum amandemen di posisikan sebagai lembaga tertinggi Negara karena dianggap lembaga yang merefresentasikan rakyat.

Logika ini kalau tidak diikuti dengan perubahan sistem pemilihan DPR dan DPD yang dipilih secara langsung dan bahkan dengan sistem proporsional terbuka, maka logika meletakkan MPR sebagai lembaga paling refresetatif (lembaga tertinggi) menjadi kurang tepat (fallacy).

Mengapa demikian? karena dalam pemilihan DPR dan DPD, yang dipilih rakyat adalah DPR dan DPD bukan MPR, rakyat tidak pernah memilih MPR.

Demikian juga disaat kampanye, DPR dan DPD berkampanye dalam kapasitas dia mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPD bukan berkampanye sebagai calon anggota MPR.

Atas dasar logika tersebut, maka DPR dan DPD sebenarnya lebih refresentatif daripada MPR dan bila DPR dan DPD lebih refresentatif maka yang pantas menduduki sebagai lembaga tertinggi adalah DPR dan DPD bukan MPR.

3. Melahirkan sistem yang tidak jelas.

Salah satu agenda perubahan UUD 1945 pasca reformasi adalah penguatan sistem presidensial, upaya ini terus disempurnakan dengan terus memperbaiki sistem kepemiluan, terutama ketidak akuran antara sistem presidensial dengan sistem multi partai yang saat ini mewarnai sistem kepemiluan kita (Indonesia).

Menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dan berwenang memilih presiden tentunya akan membuyarkan upaya penguatan sistem presidensial yang terus disempurnakan tersebut.

Selain problem diatas, jika MPR menjadi lembaga tertinggi yang memilih Presiden,  sementara posisi presiden tetap sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan, maka akan mencampur aduk antara sistem parelemener dan sistem presidensial yang biasanya dikenal dengan quasi presidensial atau quasi parlementer.

Ketidak jelasan sistem ketatanegaraan ini tentu akan menjadi problem tersendiri meskipun orang juga bisa beralasan bahwa hal tersebut merupakan ciri khas sistem di Indonesia. 

4. Penutup

Saya meyakini bahwa PBNU melontarkan wacana presiden dipilih MPR bukan hal yang final, tetapi merupakan wacana yang sengaja dilempar ke ruang public untuk didiskusikan serta dikalkulasi antara mafsadat/mudorrot dan maslahatnya.

Yang jelas sistem kepemiluan kita memang masih banyak hal yang perlu dievaluasi dan terus diperbaiki. Wacana -yang bisa dikatagorikan radikal- yang dilontarkan oleh PBNU, dapat menjadi pemantik bagi berkembangnya forum-forum diskusi yang lebih mendalam.  

*) Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara

Leave a Comment