Jangan Ikut-ikutan New Normal

Oleh : Fayakun, SH.M.Hum.M.M*

KELAKAR, Lingkarjatim.com- Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional. Beberapa pihak sudah mempersiapkan langkah-langkah menghadapi new normal ditengah-tengah kondisi kedaruratan kesehatan masyaraat (Kepres No. 11 tahun 2020) dan bencana nonalam Penyebaran corona covid -19 (Kepres No. 12 tahun 2020) yang hingga kini semakin meluas.

Apa Itu New Normal dan Bagaimana Penerapannya Saat Pandemi Corona? New normal sendiri secara ketentuan hukum belum dijelaskan kepastianya sehingga informasi yang berkembang mengenai new normal saat ini terjadi penerjemahan masing-masing. Apakah nanti new normal akan di sesuaikan instruksi kementerian masing-masing? Sembari menunggu ketentuan hukum dan petunjuk teknis new normal, saya membaca beberapa pembahasan new normal bisa kita ketemukan hakekatnya adalah suatu Kenormalan baru (bahasa Inggris : new normal), terkadang juga disebut kewajaran baru atau kelaziman baru, sebuah kata ada embel-embel baru tetapi bukan barang baru adalah sebuah istilah dalam bisnis dan ekonomi yang merujuk kepada kondisi-kondisi keuangan usai krisis keuangan 2007-2008, resesi global 2008–2012 (dan kini dipakai pandemi COVID-19). Sejak itu, istilah tersebut dipakai pada berbagai konteks lain untuk mengimplikasikan bahwa suatu hal yang sebelumnya dianggap tidak normal atau tidak lazim, kini menjadi umum dilakukan.

Walaupun new normal belum ditetapkan oleh pemerintah namun istilah new normal bisa kita ketemukan pada Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor hk.01.07/menkes/328/2020 tentang panduan pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019 (covid-19) di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung keberlangsungan usaha pada situasi pandemi. Yaitu tempat kerja sebagai lokus interaksi dan berkumpulnya orang merupakan faktor risiko yang perlu diantisipasi penularannya. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan salah satunya dengan meliburkan tempat kerja. Namun demikian dunia kerja tidak mungkin selamanya dilakukan pembatasan, roda perekonomian harus tetap berjalan, untuk itu pasca pemberlakuan PSBB dengan kondisi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung, perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan tempat kerja seoptimal mungkin sehingga “dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup” pada situasi COVID-19 (New Normal). Dengan menerapkan panduan ini diharapkan dapat meminimalisir risiko dan dampak pandemi COVID-19 pada tempat kerja khususnya perkantoran dan industri, dimana terdapat potensi penularan COVID-19 akibat berkumpulnya sejumlah/banyak orang dalam satu lokasi.

Mengutip kata “dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup” jadi new nomal jangan berpikir kondisi normal seperti kehidupan sebelumnya. Hal ini dimulai adanya kehidupan dan pola hidup wabah corona cavid -19 selama ini yang mengakibatkan kondisi penerapan protokol kesehatan (seperti jaga jarak, mengurangi pertemuan, rajin mencuci tangan, memakai masker), dan protokol kesehatan inilah yang saat ini menjadi new normal (kewajaran baru). New normal berarti tetap melaksanakan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19 seperti penggunaan masker dan menjaga jarak (baca : Dokter Tirta Luruskan Maksud New Normal di Tengah Corona: Bukan Kita Nerimo Wae, Pasrah, Bukan, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/05/28).

Pemerintah membuka peluang masyarakat kembali hidup normal namun tetap dengan protokol COVID-19 atau yang seringkali disebut dengan istilah new normal. Bahkan, pemerintah tengah menggodok rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar. Kebijakan ini menuai kontroversi karena faktanya angka kasus baru di Indonesia masih cukup tinggi. Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menilai, dari sisi istilah saja new normal itu bias kata dan bias intelektual, jika new normal diterapkan dalam kondisi sekarang maka konsekuensinya akan sangat jelas, yakni bertambahnya korban baru karena orang akan merasa sudah bebas kembali beraktivitas, bisa bebas keluar rumah kembali.

Kemudian pasar dibuka, mall dibuka, lalu sekolah mulai memasukkan anak didiknya kembali, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengenai jumlah anak usia 0-14 tahun yang terjangkit Covid-19 mencapai 831 anak per 22 Mei 2020. Dari jumlah itu, mereka yang meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 129 orang, dan mereka yang meninggal dengan status positif Covid-19 sebanyak 14 anak. “Ini tentu angka yang sangat mengkhawatirkan. Kalau sekolah dibuka sementara otoritas kesehatan kita belum kokoh, apakah tidak akan semakin membahayakan? Semakin banyak anak-anak yang terkena Covid-19. Kita belum bicara soal mall, tempat ibadah dan seterusnya. Ini akan sangat berbahaya jika pemerintah tidak siap,”( https://nasional.sindonews.com/ edisi 28 Mei 2020).

Menurut saya pelonggaran pembatasan sosial bisa dilakukan asalkan kurva kasus COVID-19 di Indonesia sudah melandai karena itu saya berharap pemerintah memperhatikan hal tersebut sebab angka terkonfirmasi/positif setidaknya per tanggal 29 Mei 2020, berjumlah 25,216 orang, dirawat 17,204 orang, meninggal dunia 1,520 orang, dan sembuh 6,492 orang (sumber: www.covid19.go.id). Tingkat kematian di Indonesia termasuk yang tertinggi sebaiknya pemerintah mengikuti negara yang kurva kasus virus corona sudah turun. Sangat bahaya kalau hanya sekadar penyelamatan ekonomi, pembatasan sosial dibuka.

Ketentuan karantina, dan Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) itu sudah tertuang dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan itu yang harus kita patuhi yaitu diperlukan adanya pelindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Justru dalam rangka pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya diperlukan adanya pelindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang terdampak penyakit (konsideran menimbang UU tentang kekarantinaan kesehatan) Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Terlebih melindungi rakyat dari penyakit menular adalah tujuan dibentuknya UU tentang wabah penyakit menular (UU No. 4 tahun 1984) yaitu untuk mewujudkan tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi rakyat Indonesia.

Setidaknya saya menangkap makna yang disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), indikator-indikator penerapan new normal saat pandemi corona bisa diterapkan. WHO memberikan beberapa indikator yang diminta untuk dapat dipatuhi oleh semua negara di dunia dalam rangka menyesuaikan kehidupan normalnya, new normalnya itu dengan covid-19 (https://tirto.id edisi 26 Mei 2020).

Indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama, tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan. Kedua, menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespon untuk pelayanan COVID-19. Ketiga, cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki covid-19 atau tidak sehingga dilakukan test masif.

Bagaimana apakah kita sudah siap dengan new normal? Seharusnya kita jangan ikut-ikutan dulu kebijakan pelaksanaan new normal sebelum melakukan evaluasi terlebih dahulu seperti memperbaiki fasilitas kesehatan, sarana dan prasarana bagaimana kinerja SDM, kesiapan posko, tenaga medis dan kondisi masyarakat dalam mematuhi aturan protokoler kesehatan. Kondisi ini harus jadi bahan kajian dulu dan kita harus menjaga daerah kita sendiri. Jangan sampai demi menyelamatkan ekonomi tapi justru mengorbankan kesehatan masyarakat, inti dari pembicaraan saya adalah perbaiki dulu sarana dan prasarana, sehatkan masyarakat, beri kenyamanan dan keamanan masyarakat baru dengan sendirinya new normal akan menjadi pemahaman kehidupan normal. (*)

*Penulis adalah ketua Bawaslu Tulungagung

Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Leave a Comment