Gus Baha’ dan Kopiah Hitamnya

Oleh : Moh. Syaeful Bahar*

KELAKAR, Lingkarjatim.com – Setelah sekian lama tak berkumpul, alhamdulillah, akhirnya pagi ini, kami, jamaah ngopi subuh dapat bersua kembali.

“Ji, sekarang ada ustad keren, kiai keren, gus hebat, alim pilih tanding”, sambar Cak Mamat membuka diskusi pagi ini.

“Sopo cak?”, sahutku.

“Gus Baha, dari Jawa Tengah”, jawab Cak Mamat.

Wow, Cak Mamat ternyata mengikuti Gus Baha juga, santri Mbah Moen yang fenomenal itu.

“Apanya yang keren Cak?”, tanya Pak Edi menimpali.

“Semuanya Pak Edi, puinter, alim, sombong, lucu hahaha”, jawab Cak Mamat sekenanya.

“Kok sombong?” sambung Pak Edi Keheranan.

“Bukan sombong pak, tapi apa adanya. Malah sekarang Gus Baha sedang ngajak bikin gerakan Cangkem Rusak hahaha”, jawabku. Sengaja aku menjawab dengan bahasa provokatif. Sengaja aku pilih bahasa provokatif, agar para jamaah ngopi subuh semakin penasaran dengan sosok Gus Baha.

“Wah, bagaimana maksudnya Ji, sombong dan cangkem rusak itu?”, sambung Mas Desi dengan penuh keheranan.

Hehehe, provokasiku masuk…asiiik.
Bukan hanya Mas Desi dan Pak Edi yang masih nampak penasaran dan kebingunan, jamaah ngopi yang lain nampak pula keheranan dan bertanya-tanya. Pak Salam mendekatkan tempat duduknya, Kang Parmin memperbaiki duduknya, tidak lagi duduk seperti orang yang sedang sholat, duduk iftirasyi, langsung ganti duduk bersila seperti seorang pertapa, Pak Reza membuang rokoknya, mendekat ke kami yang melingkar…, nampaknya mereka penasaran betul dengan sosok alim, puinter sundul langit, namun sombong dan lucu ini, Gus Baha.

“Nama aslinya K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha’ adalah salah satu ulama Nahdlatul Ulama’ (NU) yang berasal dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Gus Baha’ dikenal sebagai salah satu Ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur’an. Dia santri Mbah Moen Sarang. Beliau ahli tafsir, hafal al Qur’an, juga seorang faqih, ahli fiqh, beliau juga sufi, kitab-kitab dibacanya juga banyak kitab tasawwuf, seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali, Hikam karya Ibnu Athoillah dan Bidayatul Hidayah. Jadi beliau bukan hanya alim, uaaaaalim, bener kata Cak Mamat”.

“Beliau asli produk pesantren tanah air, ngajinya hanya ke ayah beliau, KH Nur Salim dan KH Maimoen Zubair Sarang. Gampangnya, beliau ini asli produk pesantren NU, asli produk Islam Nusantara hehehe”, jawabku.

Saya sendiri adalah penyimak setia Gus Baha, bisa dikata tiap hari, saya menonton dan mendengarkan pengajian Gus Baha via youtube. Niat ngalap barokah ke beliau, ngaji dan belajar kehidupan ke beliau.

“Gus Baha itu apa adanya, kesan orang yang hanya sekali atau dua kali mendengarkan pengajian Gus Baha pasti salah paham. Beliau bisa dicap sombong. Padahal tidak, beliau apa adanya. Beliau memang alim, tauhid beliau kelas A, gak butuh lagi penilaian manusia, konsentrasi beliau hanya satu, hanya pada Allah. Beliau tak pura-pura sholeh, gak sibuk pakai atributnya orang-orang soleh, kopiahnya tetap hitam, bajunya hanya satu warna, putih, tetap pakai sarung, naik bus umum ke mana-mana, tanpa gelar akademik, padahal sering ditawari gelar akademik kehormatan, Doktor Honoriscausa, misalnya, tapi beliau menolak. Untuk kopiah hitamnya, beliau pernah memberi alasan, bahwa kopiah hitam itu adalah perintah Mbah Moen guru mulianya. Suatu saat, Mbah Moen menyampaikan bahwa santri Sarang dilarang, diharamkam pakai kopiah putih, kopiah haji, selama belum benar-benar haji. Menurut Gus Baha, pesan Mbah Moen itu melekat hingga sekarang, meskipun beliau sudah haji”. Jawabku….

“Memangnya haram pakai kopiah putih jika belum haji ji? Klo niatnya ikut sunnah nabi yang suka warna putih bagaimana? Fatwa Mbah Moen perlu dikoreksi itu” tanya Kang Parmin dengan penuh selidik. Kang Parmin tetap Kang Parmin, sensitif dengan hal-hal yang simbolik hahaha.

“Bukan haram dalam kategori fiqh Kang, tapi haram dalam kategori akhlaq. Begini, kata Mbah Moen, ini menurut Gus Baha ya, bahwa orang-orang yang berangkat haji itu butuh perjuangan yang hebat, bahkan dibela-belanin jual sawah segala. Nah, Mbah Moen tidak ingin melukai perasaan orang-orang yang telah berangkat haji dengan perjuangan yang sangat berat tersebut dengan prilaku santri yang melecehkan dengan cara memakai kopiah haji yang harganya cuma 5000 an itu. Jangan sampai, prilaku santri di pondok Mbah Moen itu mendowngrade makna haji. Fatwa itu hanya untuk Sarang Kang, bukan santri yang lain, apalagi berlaku general ke ummat Islam seluruhnya hehe, fatwa ini bertujuan menjaga akhlaq santri-santri Sarang saja”.

“Begitulah para kiai kita, posisi akhlaq sangat penting, jauh lebih utama dari ilmu. Urusan akhlaq, prilaku, menjaga hubungan kemanusiaan sangat dijaga. Bahkan, sekelas Gus Baha yang sangat alim, demi menjaga hormat pada gurunya, tetap memakai kopiah hitam ke mana-mana hehe. Beda dengan kita, kadang-kadang kita sibuk dengan atribut kesolehan, ribet dengan simbol-simbol kesolehan, hehehe…celana harus cingkrang, jubah harus besar, serban harus lebar….hehe. Itu tak salah, tapi seringkali justru jadi alat syetan untuk menggagalkan keikhlasan kita”. Tutupku….

*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Leave a Comment