PERAN KEMENDIKBUD UNTUK MENANGKAL RADIKALISASI MELALUI JALUR PENDIDIKAN

Oleh: Moh Nizar Zahro*

OPINI, Lingkarjatim.com – Sepanjang Minggu hingga Senin (13 dan 14 Mei 2018), Indonesia diguncang 5 kali bom bunuh diri. Bom pertama meledak pada hari Minggu (13/5/2018) sekitar pukul 07.30 WIB di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, Surabaya. Selang sekitar lima menit kemudian bom kedua meledak di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno dan tidak lama kemudian bom meledak di gereja GKI di jalan Diponegoro. Bom keempat meledak di Rusunawa, Wonocolo, Sidoarjo pada pukul 21.20 Wib . Dan bom kelima meledak di Mapolrestabes Surabaya pada hari Senin (14/5/2018) pukul 08.50 Wib.

Hasil identisikasi menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tidak hanya orang dewasa tetapi juga melibatkan anak-anak. Pada kasus pengeboman pada 3 gereja di Surabaya ternyata pelaku bom merupakan satu keluarga. Sang ayah (Dita Upriyanto/48 tahun) bertugas melakukan pemboman seorang diri, sementara sang ibu (Puji Kuswati/43 tahun) ditemani 2 anak perempuan (Fadhila Sari 12 tahun & Famela Rizqita 9 tahun) dan sisanya 2 anak laki-laki (Yusuf Fadhil 18 tahun dan Firman Halim 16 tahun) bertugas bersamaan.

Dari segi misi, bisa dikatakan keluarga tersebut sukses melaksanakan “tugas” yang diembannya. Bila diamati dari beberapa tayangan video, tampaknya keluarga tersebut sudah sangat terlatih. Maka bisa disimpulkan keluarga tersebut sudah merencanakannya dengan matang dan bisa jadi juga telah melakukan simulasi.

Mengamati fenomena tersebut, muncul rasa kepedihan dan kekhawatiran yang mendalam karena baru kali ini anak-anak terlibat dalam skenario bom bunuh diri. Pedih karena masa anak-anak yang semestinya diisi dengan keceriaan harus terlibat dalam aktivitas terorisme yang kemudian berakhir dengan peristiwa tragis. Khawatir karena bisa jadi dalam pergaulan dengan sesama teman baik di sekolah maupun di lingkungan sudah menyebarkan virus terorisme kepada teman-temannya.

Menularkan virus terorisme di lingkungam sekolah patut diwaspadai. Dua hari pasca peledakan bom Surabaya, tersebar testimoni seorang netizen dengan akun facebook bernama Ahmad Faiz Zainuddin yang mengaku sebagai adik kelas pelaku pemboman gereja Surabaya Dita Upriyanto. Si netizen menuturkan kenangannya bersama Dita Supriyanto pada 30 tahun yang lalu saat keduanya masih bersekolah di SMA 5 Surabaya. Sejak sekolah SMA, Dita telah mengikuti paham ekstrimisme.

Bahkan selain Dita,  ada sosok kakak kelas lain, ketua rohis SMA 5 Surabaya waktu itu, yang menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.

Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom2 teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”. Memang kalak kelas tersebut dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) untuk diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat tidak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah.

Dari penuturan si netizen tersebut dan keterlibatan anak-anak Dita sebagai eksekutor bom bunuh diri, membuktikkan bahwa sekolah rentan disusupi oleh paham radikalisme. Tidak terbayang sudah 30 tahun yang lalu paham tersebut telah menyusup dalam sekolah-sekolah. Maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa saat ini telah terkader banyak pengikut radikalisme melalui media sekolah.

Temuan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh Kemendikbud sebagai penanggung jawab pendidikan di Indonesia. Untuk tahap awal, Kemendikbud harus segera menggeber program deradikalisasi di seluruh sekolah di Indonesia, dengan tujuan agar anak didik yang sudah terpapar virus radikalisme bisa diselamatkan.

Berikutnya adalah dilakukan pemetaan dan identifikasi sekolah-sekolah yang terpapar paham radikalisme. Identifikasi bisa dilakukan dengan melakukan labelisasi, untuk sekolah yang terpapar parah bisa diberi label merah, terpapar sedang label kuning, terpapar rendah label biru dan bersih dari paham radikalisme diberi label hijau.

Penanganan radikalisasi kemudian disesuaikan sesuai tingkat keparahan paparannya. Kememdikbud bisa menggandeng institusi lain misalnya BNPT, MUI, NU, Muhammadiyah, dll, untuk melakukan program deradikalisasi di sekolah-sekolah. Untuk yang terpapar parah bisa saja melibatkan Densus 88, meskipun opsi ini sebagai alternatif terakhir.

Dan yang tidak kalah penting adalah program deradikalisasi ini jangan menciptakan ketakutan dan kegaduhan di sekolah. Prinsip utama yang harus dipegang adalah anak-anak merupakan aset bangsa. Jika ada yang terpapar paham radikalisme harus diselamatkan, bukan dikucilkan, dibully atau dihukum. Pendekatan preventif akan lebih efektif dibanding tindakan represif.

Sekolah harus menjadi benteng terdepan melawan penyebaran virus radikalisme, baik yang disebarkan melalui keluarga maupun melalui lingkungan. Diharapkan dengan pendidikan lah akan terwujud generasi-generasi muda yang bersih dari paham radikalisme. Kemudian generasi-generasi tersebut dapat meneruskan program deradikalisasi di lingkungannya masing-masing, terutama di keluarganya.

———-
*Anggota Komisi X Fraksi Partai Gerindra DPR RI

Leave a Comment